SURAT KUASA




PENDAHULUAN


Bayangkan anda sedang tidak dapat berbuat apa-apa, sakit keras misalnya. Maka, untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, anda memerlukan orang lain untuk mewakili diri anda melakukan perbuatan tersebut. Begitupun dalam hukum, ketika seseorang tidak dapat atau tidak ingin melakukan suatu perbuatan hukum karena suatu alasan tertentu, maka orang lain dapat mewakili kepentingan hukumnya dengan suatu kuasa. Oleh sebab itu, di dalam hukum dikenal lembaga “Kuasa”. Inti dari lembaga “Kuasa” ini adalah untuk mewakili kepentingan hukum seseorang. Sampai sejauh mana perbuatan-perbuatan hukum dalam kuasa itu dapat diwakili, hal tersebut tergantung pada baik subyek maupun obyeknya. Menurut pasal 1792 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), Pemberian Kuasa adalah “Suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kuasa kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Dari pasal tersebut dapat kita bedah beberapa faktor penting suatu pemberian Kuasa:



PEMBAHASAN

Definisi Surat Kuasa

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga keluaran Balai Pustaka mendefinisikan surat kuasa sebagai “ surat yang berisi tentang pemberian kuasa kepada seseorang untuk mengurus sesuatu”.

Gramatikal bahasa Inggris, mendefinisikan surat kuasa atau Power of Attorney adalah sebuah dokumen yang memberikan kewenangan kepada seseorang untuk bertindak atas nama seseorang lainnya (a document that authorizes an individual to act on behalf of someone else).

Rachmad Setiawan dalam bukunya berjudul “Hukum Perwakilan dan Kuasa” mengatakan peraturan tentang surat kuasa di KUHPerdata sebenarnya mengatur soal latsgeving yang terjemahan harfiahnya “pemberian beban perintah”.

Sedangkan dalam Pasal 1792 BW menyatakan “pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.


Unsur Pemberian Kuasa

Pemberian kuasa (latsgeving) yang terdapat dalam Pasal 1792 BW itu mengandung unsur:

· Persetujuan ;

· Memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan ; dan

· Atas nama pemberi kuasa.

Unsur persetujuan ini harus memenui syarat-syarat persetujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 BW :

· Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ;

· Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;

· Suatu hal tertentu ; dan

· Suatu sebab yang halal.

Unsur memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan adalah sesuai dengan yang telah disetujui oleh para pihak ,baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas.

Unsur atas nama pemberi kuasa berarti bahwa penerima kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Akibatnya tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa.


Subyek Pemberian Kuasa

Subyek Pemberian Kuasa terdiri dari pihak yang memberikan kuasa atau “Pemberi Kuasa” (Lastheber) dan “Penerima Kuasa”. Pemberi Kuasa mewakilkan kepentingan hukumnya kepada Penerima Kuasa sesuai dengan funsi hak dan kewenangan dalam Surat Kuasa. Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa, Penerima Kuasa dapat mewakili kepentingan hukum Pemberi Kuasa dalam berhubungan dengan pihak ketiga. Oleh sebab itu, Pemberi Kuasa bertanggung jawab penuh terhadap tindakan Penerima Kuasa, sepanjang tidak melebihi apa yang dikuasakan. Sesuai dengan kewenangannya itu berdasarkan Surat Kuasa, tindakan Penerima Kuasa sebagai pihak formil memiliki otoritas untuk langsung mengikat si Pemberi Kuasa sebagai pihak materiil.


Obyek Pemberian Kuasa

Obyek dari Pemberian Kuasa, menurut pasal 1792 KUHPer, adalah “menyelenggarakan suatu urusan”. Urusan yang dimaksud adalah meliputi perbuatan-perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan si Pemberi Kuasa.


Berakhirnya Kuasa

Menurut pasal 1813 KUHPer, berakhirnya Pemberian Kuasa dapat disebabkan karena penarikan kembali kuasa oleh Pemberi Kuasa, penghentian kuasa oleh Penerima Kuasa, meninggalnya atau diampunya atau pailitnya Pemberi Kuasa atau Penerima Kuasa, dan karena perkawinan perempuan sebagai pihak Pemberi Kuasa atau Penerima kuasa.


Pemberi Kuasa Menarik Kembali Pemberian Kuasa Secara Sepihak

Berbeda halnya dengan perjanjian, dalam lembaga Pemberian Kuasa penarikan kembali Pemberian Kuasa dapat dilakukan oleh Pemberi Kuasa secara sepihak tanpa persetujuan si Penerima Kuasa. Hal tersebut dapat dilakukan oleh Pemberi Kuasa secara tegas maupun secara diam-diam. Penarikan kembali Pemberian Kuasa secara tegas dilakukan Pemberi Kuasa dengan cara mencabut secara tegas dengan tertulis atau meminta kembali Surat Kuasa dari Penerima Kuasa. Sedangkan penarikan Pemberian Kuasa secara diam-diam dapat dilakukan Pemberi Kuasa dengan cara mengangkat kuasa baru untuk substansi Pemberian Kuasa yang sama. Penarikan Pemberian Kuasa secara sepihak ini tentu memberikan ketidak pastian hukum diantara para pihak, terutama pihak Penerima Kuasa. Oleh sebab itu, dalam praktek dikenal adanya Surat Kuasa Mutlak, yaitu surat kuasa yang tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh Pemberi Kuasa. Meskipun hal tersebut bertentangan dengan pasal 1313 KUHPer, namun dalam praktek hal tersebut dapat dijalankan den dipedomani oleh yurisprudensi. Dengan demikian, apabila para pihak juga memperjanjikan bahwa suatu Pemberian Kuasa tidak dapat ditarik secara sepihak, maka untuk penarikan tersebut harus mengikuti aturan pasal 1338 KUHPer tentang kebebasan berkontrak, yakni perlu ada persetujuan pihak Penerima Kuasa.


Penerima Kuasa Melepas Kuasa

Seperti halnya Pemberi Kuasa, Penerima Kuasa juga dapat melepas kuasa yang diberikan kepadanya secara sepihak. Pelepasan kuasa oleh Penerima Kuasa itu dapat dilakukan dengan cara memberitahukan maksud tersebut kepada Pemberi Kuasa (1817 KUHPer). Namun demikian, pelepasan Pemberian Kuasa secara sepihak itu harus dilakukan oleh Penerima Kuasa dalam suatu kondisi yang layak, dalam arti pelepasan Pemberian Kuasa tersebut tidak akan mengakibatkan kerugian bagi si Pemberi Kuasa.


Meninggal dunia, dibawah pengampuan dan Pailit

Dengan meninggalnya salah satu pihak, dengan sendirinya Pemberian Kuasa itu berakhir (1813 KUHPer). Pemberian Kuasa tidak dapat dilanjutkan kepada ahli waris, kecuali dibuat Pemberian Kuasa yang baru. Demikian pula untuk seseorang yang berada di bawah pengampuan atau dinyatakan pailit, maka terhadap mereka dapat diangkat seorang Penerima Kuasa untuk mewakili melakukan perbuatan hukum orang yang diampu atau orang yang pailit. Juga apabila seorang perempuan berkedudukan sebagai Pemberi Kuasa atau Penerima Kuasa. Apabila ia melakukan perkawinan dengan pihak lawannya dalam Pemberian Kuasa, maka dengan sendirinya Pemberian Kuasa diantara mereka berakhir.


Jenis Kuasa

1. Kuasa Umum

Menurut pasal 1795 KUHPer, jenis Pemberian Kuasa ada dua, yaitu Kuasa Umum dan Kuasa Khusus. Kuasa Umum ditujukan untuk memberikan kuasa kepada Penerima Kuasa untuk mewakili Pemberi Kuasa menjalankan pengurusan seluruh kepentingan Pemberi Kuasa atas harta kekayaan pemberi Kuasa.

2. Kuasa Khusus

3. Kuasa Istimewa

4. Kuasa Perantara

Kuasa Perantara disebut juga agen, yakni dimana Pemberi Kuasa memberikan kuasa kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai perantara atau makelar untuk melakukan perbuatan hukum terhadap pihak ketiga dalam perdagangan keagenan. Kuasa Perantara ini dikonstruksi berdasarkan pasal 1792 KUHPer dan pasal 62 KUHD.


KUASA MENURUT HUKUM

Kuasa menurut hukum adalah Pembeian Kuasa dari seseorang atau suatu badan kepada orang atau badan lain karena undang-undang. Jadi Pemberian Kuasa menurut hukum bukan berasal dari suatu Pemberian Kuasa dari pihak Pemberi Kuasa, melainkan undang-undang itu sendirilah yang memberikan kuasa kepada Penerima Kuasa. Kuasa menurut hukum antara lain:

1. Wali terhadap anak dibawah perwalian

Menurut pasal 51 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, seoranng wali merupakan orang yang dapat mewakili perbuatan hukum seorang anak yang berada dibawah perwalian. Dengan demikian, secara hukum wali adalah Penerima Kuasa dari anak dibawah perwalian.


2. Kurator atas orang yang tidak waras.

Menurut pasal 229 HIR, seorang dewasa yang tidak dapat mengurus dirinya dan harta kekayaannya karena kondisi kurang warasnya itu, dapat diminta untuk diangkat seorang Kurator. Dengan demikian, dalam hal ini Kurator adalah Penerima Kuasa menurut undang-undang yang mewakili kepentingan orang dewasa yang tidak waras itu untuk mengurus kepentingan hukumnya.


3. Orang tua terhada anak yang belum dewasa.

Menurut pasal 45 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, seorang anak sebelum ia dewasa masih berada di bawah perwalian orang tuanya. Oleh sebab itu, selama seorang anak belum dewasa, maka kepentingan hukumnya diwakili oleh orang tuanya. Dengan demikian dalam hal ini orang tua merupakan pihak Penerima Kuasa atas anak yang belum dewasa.


4. Balai Harta Peninggalan (BHP) sebagai kurator kepailitan.

Menurut pasal 13 Undang-undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, jika seseorang dianggap pailit oleh putusan pengadilan, dan debitur maupun kreditur tidak mengangkat seorang kurator, maka pengadilan akan mengangkat kurator. Kurator inilah yang nanti akan mengurusi pemberesan harta pailit. Dengan demikian, Kurator merupakan pihak Penerima Kuasa atas orang pailit.


5. Direksi atau Badan Pengurus Badan Hukum.

Menurut undang-undang Perseroan Terbatas, penanggung jawab perseroan adalah Direksi. Direksi ini yang melakukan pengurusan baik internal dan eksternal, serta direksi pula yang mewakili perusahaan melakukan hubungan hukum dengan pihak-pihak lain. Dengan demikian, maka direksi adalah pihak Penerima Kuasa dari sebuah badan hukum Perseroan Terbatas.


6. Pimpinan perwakilan Perusahaan Asing.

Pimpinan Perwakilan Perusahaan Asing merupakan legal mandatory yang kedudukannya sejajar dengan wettelijke vertegenwoording. Secara hukum, ia adalah Penerima Kuasa dari perusahaan asing.


7. Pimpinan Cabang Perusahaan Domestik.

Menurut Putusan MA No. 779 K/Pdt/1992, pimpinan cabang suatu bank berwenang bertindak untuk dan atas nama pimpinan pusat tanpa memerlukan surat kuasa untuk itu. Dengan demikian, Pimpinan Cabang suatu bank merupakan Penerima Kuasa dari badan hukum Bank.


KUASA KHUSUS MEWAKILI SIDANG PENGADILAN

Menurut pasal 123 ayat (1) HIR, Pemberian Kuasa yang secara khusus diperuntukan mewakili Penggugat atau Tergugat dalam suatu sidang pengadilan dapat diberikan baik secara lisan, dalam surat gugatan, maupun dengan surat kuasa khusus. Macam-macam Pemberian Kuasa tersebut dilakukan dengan ketentuan:

1. Kuasa Secara Lisan

Apabila seseorang tidak dapat membaca dan/atau menulis, maka terhadap orang tersebut dibolehkan mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua pengadilan Negeri, demikian menurut pasal 120 HIR/144 Rbg. Atas pengajuan gugatan secara lisan itu Ketua Pengadilan Negeri kemudian akan mencatat atau menyuruh mencatat gugatannya. Apabila Penggugat mengehedaki memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakilinya berperkara dalam persidangan, maka Ketua Pengadilan Negeri juga akan akan mencatat maksud Pemberian Kuasa dalam gugatan lisan yang diajukan. Terhadap gugatan yang sedang berlangung di pengadilan, para pihak Penggugat dan Tergugat juga dapat memberikan kuasa secara lisan kepada orang lain. Pemberian kuasa itu dilakukan dengan kata-kata tegas (Expressis Verbis), dan majelis kemudian memerintahkan panitera untuk mencatatnya dalam berita acara sidang.


2. Kuasa yang Ditunjuk Dalam Surat Gugatan

Menurut pasal 118 HIR (142 Rbg), gugatan dapat diajukan secara tertulis. Jika dikaitkan dengan pasal 123 HIR (147 Rbg), maka dalam gugatan tertulis itu Penggugat dapat langsung menunjuk pihak lain sebagai Penerima Kuasa yang akan mewakili dirinya dalam persidangan. Secara hukum hal tersebut memenuhi syarat formil dan sah. Namun dalam praktek, pengangkatan kuasa melalui surat gugatan itu harus didasarkan pada surat kuasa khusus, yang menurut hukum sebenarnya bukan merupakan syarat.


3. Surat Kuasa Khusus

Pasal 123 ayat (1) HIR tidak merinci lebih lanjut bagaimana surat kuasa khusus harus dibuat. Pasal tersebut hanya mensyaratkan bahwa kuasa khusus harus dibuat secara tertulis (In writing). Hal ini berarti, dengan mengatakan dalam surat tersebut untuk “memberikan kuasa untuk menghadap di semua pengadilan” adalah sudah cukup sebagai surat kuasa khusus. Namun, untuk dapat benar-benar membedakannya dengan surat kuasa umum, maka sistem peradilan di Indonesia telah memperbaikinya dengan beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).


a. SEMA No. 2 Tahun 1959, tanggal 19 Januari 1959

Menurut SEMA ini, surat kuasa khusus yang memenuhi syarat pasal 123 HIR adalah apabila surat tersebut: menyebutkan kopetensi relatif PN yang mengadili perkara, menyebutkan para pihak yang berperkara, dan menyebutkan obyek perkara secara ringkas dan kongkret. Syarat ini bersifat kumulatif, sehingga satu saja tidak terpenuhi maka surat kuasanya cacat formil dan gugatannya tidak sah.


b. SEMA No. 5 Tahun 1962, Tanggal 30 Juli 1962.

SEMA ini pada prinsipnya melengkapi SEMA No. 2 Tahun 1959 di atas. Menurut SEMA tersebut, apabila dalam pemeriksaan sidang PN maupun PT ditemukan adanya surat kuasa yang tidak memenuhi syarat, maka PN maupun PT dapat menyempurnakannya dengan cara memanggil para pihak dan menanyakan kebenarannya.


c. SEMA No. 1 Tahun 1971, tanggal 23 Januari 1971

SEMA ini mencabut SEMA No. 2 Tahun 1959 dan SEMA No. 5 Tahun 1962. Namun, menurut Yahya harahap, tujuan utama SEMA No. 1 Tahun 1971 ini sebenranya hanya menghapus SEMA No. 5 Tahun 1962, sehingga menurut SEMA ini, apabila dalam pemeriksaan sidang peradilan ditemukan syarat-syarat yang tidak sah, maka PN maupun PT tidak perlu lagi menyempurnakannya.


d. SEMA No. 6 Tahun 1994, tanggal 14 Oktober 1994

Pada dasarnya SEMA ini sejiwa dengan SEMA No. 2 Tahun 1959, yaitu mensyaratkan adanya: pernyataan memberikan kuasa untuk berperkara di pegadilan, kompetensi relatif, para pihak yang berperkara, dan obyek perkara.


Bentuk Formil Kuasa Khusus

Meskipun pasal 123 HIR mensyaratkan surat kuasa harus tertulis, namun pasal tersebut tidak menjelaskan bentuk tulisan formal tertentu sebagai syarat. Dengan demikian, maka surat kuasa khusus dapat saja berbentuk akta notaris, akta yang dibuat di hadapan panitera PN, maupun akta di bawah tangan. Ketiganya sama-sama sah sebagai surat kuasa khusus menurut hukum.