GOOD GOVERNANCE

GOOD GOVERNANCE



Prinsip-prinsip Good Governance oleh para Sarjana

a. Dr. Riswandha Imawan

Prinsip-prinsip Good Governance antara lain :

· Transparansi, yakni rakyat paham akan keseluruhan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Pemerintah.

· Akuntabilitas, yakni tiap kebijakan yang menyangkut kepentingan publik wajib diketahui dan dapat dikontrol oleh publik.

· Bersih dari segala bentuk dan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.

· Jujur, yang bersangkut paut dengan etika.

b. Bintoro Tjokroamidjojo

Menurutnya, prinsip-prinsip Good Governance antara lain:

· Akuntabilitas, yaitu tanggung gugat dari pengurusan/penyelenggaraan dari governance (pengelolaan) yang dilakukan.

· Transparansi, yaitu dapat diketahuinya oleh banyak pihak (yang berkepentingan) mengenai rumusan kebijaksanaan politik dari Pemerintah, organisasi, badan usaha.

· Keterbukaan, yaitu pemberian informasi secara terbuka, untuk open free suggestion dan terbuka terhadap kritikyang dilihat sebagai partisipasi untuk perbaikan.

· Aturan hukum, legalitas (rule of law) artinya keputusan, kebijaksanaan Pemerintah, organisai, badan usaha yang menyangkut masyarakat. Pihak ketiga dilakukan berdasar hukum (peraturan yang sah).

· Adanya jaminan fairness a level playing field (perlakuan yang adil, perlakuan kesetaraan). Ini berlaku bagi Pemerintah kepada masyarakat dalam pelayanan publik, perusahaan kepada pelanggan.

c. G.H Addink

Ia membagi prinsip-prinsip Good Governance menjadi prinsip yang bersifat substantive dan prinsip prosedural.

Prinsip yang bersifat substantive terdiri dari :

  • Larangan penyalahgunaan kekuasaan.
  • Prinsip larangan bertindak sewenang-wenang atau prinsip kelayakan.
  • Prinsip kepastian hukum.
  • Prinsip persamaan.
  • Asas keseimangan.

Sedangkan, prinsip prosedural terdiri dari :

  • Prinsip kecermatan.
  • Prinsip alasan yang baik.

Perbedaan prinsip-prinsip Good Governance oleh para Sarjana tersebut diatas.

Jika dilihat dari pendapat para sarjana mengenai prinsip-prinsip Good Govenrnance. Maka terdapat beberapa perbedaan antara lain :

  1. Prinsip-prinsip Good Governance menurut Dr. Riswandha Imawan tidak terdapat prinsip keterbukaan, aturan hukum, dan adanya jaminan Fairness a level playing field sebagaimana yang dikemukakan oleh Bintoro Tjokroamidjojo. Serta hampir semua prinsip-prinsip Good Governance yang dikemukakan oleh G.H Addink tidak terdapat dalam prinsip-prinsip Good Governance yang dikemukakan oleh Dr. Riswandha ismawandi, kecuali prinsip larangan penyalahgunaan kekuasaan, begitupun sebaliknya.
  2. Prinsip-prinsip Good Governance yang dikemukakan oleh G.H Addink lebih tersistematis dibandingkan Sarjana lainya. Karena ia membagi prinsip-prinsip Good Governance berdasar prinsip yang bersifat substantive dan prinsip prosedural.

Sejarah kelahiran Good Governance

Konsep good governance bukanlah hal baru, keberadaannya bersamaan dengan peradaban manusia, bahkan pada zaman pemerintahan Cina Kuno (202 SM-219M) konsep pemerintahan yang baik merupakan salah satudoktrin Confusius yang kemudian menjadi konstitusi Chow. Istilah governance berasal dari bahasa Yunani “kybernan” dan kybernetes” yang artinya mengendalikan atau mengendarai sesuatu.

Konsep good governance pada awalnya merupakan istilah ilmu politik yang diperkenalkan dalam mengambarkan suatu masyarakat yang demokratis. Istilah ini mulai populer ketika badan-badan internasional dalam idang moneter mempersyaratkan adanya suatu pemerintahan yang baik (goodgovernance) untuk dapatnya lembaga-lembaga moneter tersebut memberikan kepada negara pemberi bantuan.

Lembaga internasional yang mengawali mempopulerkan istilah governance adalah Bank Dunia melalui publikasinya yang diterbitkan pada tahun 1991 berjudul Governance Development, berikutnya diikuti oleh Asian Development Bank (ADB) yang sejak tahun 1995 telah memiliki policy paper bertajuk Governance Sound Development Management. ADB mengartikulasikan empat elemen essensial dari good governance, yaitu : accountability, participation, predictability dan transparency. UNDP kemudian membuat definisi yang lebih ekspansif governance meliputi : pemerintah, sektor swasta, dan civil society dan interaksi antara ketiganya.

Paul Streeten dalam tulisannya yang berjudul “Good Governance : Hystori And Development of The Concept” menyatakan persyaratan good governance sebagai salah satu kriteria dalam menggulirkan bantuannya oleh lembaga-lembaga internasional tersebut muncul sejak berakhirnya perang dingin dimana terjadi perubahan kekuatan konstelasi politik dunia, yang berpengaruh juga terhadap kebijakan pemberian bantuan kepada negara-negara penerima, yang dahulunya bantuan diarahkan pada permasalahan-permasalahan fundamental kemanusiaan seperti kemiskinan, keterbelakangan pendidikan meluas kepada isu-isu yang berkembang pada saat itu antara lain isu lingkungan hidup, hak asasi manusia, demokrasi dan good governance.

Perbedaan konsep Good Governance dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik.

a. Ditinjau dari asalnya, konsep principle of proper administration yang selanjutnya disebut dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik berasal dari praktik pelaksanaan pemerintahan yang dikembangkan baik melalui pemikiran-pemikiran teoritik para ahli hukum Belanda maupun dari putusan-putusan pengadilan atau mahkamah agung Belanda dalam bentuk yurisprudensi. Sedangkan, konsep good governance merupakan konsep yang dipopulerkan oleh Bank Dunia (World Bank) yang dipergunakan sebagai prasyarat dalam pemberian bantuan keuangan kepada negara-negara recipient (penerima) dana, jadi bukan konsepyang dibawa dari luar dalam hal ini Wold Bank dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya (Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), OECD, UNDP, dan IMF) yang dipaksakan masuk kedalam tatanan negara peminjam.

b. Asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) berada dalam ranah hukum normatif. Sedangkan, konsep good governance berada dalamranah politik.

c. Pendekatan dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah A Right Based approach yaitu suatu pendekatan yang menekankan pada perlindungan hak asasi manusia. Sedangkan, pada good governance pendekatannya adalah pendekatan politik moneter.

d. Tujuan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah untuk menciptakan rambu-rambu hukum bagi pemerintah dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan kultur bangsa yang bersangkutan. Sedangkan prinsip-prinsip good governance bertujuan untuk menciptakan suatu pemerintahan yang demokratik sesuai dengan prinsip-prinsip tertentu (liberalisme) yang bersifat universal dan teoritik. Disamping itu ada tujuan yang tersembunyi dibalik konsep good governance adalah agar terciptanya suatu pemerintahan demokratik di seluruh dunia sebagai akibat kalahnya ideologi komunis pada akhir perang dingin. Dengan terciptanya suatu pemerintahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance merupakan jaminan bagi lembaga-lembaga keuangan internasional bahwa dana yang telah mereka kucurkan akan dapat kembali dengan selamat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan good governance adalah liberalisasi dalam dunia pasar modal, ekonomi dan perdagangan dan tentunya pemerintahan.

Perbedaan Clear Government dengan Good Government.

  1. Pengertian secara harfiah

Clear Government terdiri dari dua kata yaitu “clear” yang berarti bersih dan “government” yang berarti Pemerintahan. Dengan kata lain, dapat diartikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dalam arti bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Sedangkan, Good Government terdiri dari dua kata yaitu “good’ yang berarti baik dan “government” yang berarti Pemerintahan. Dengan kata lain dapat diartikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam arti memuat asas-asas umum pemerintahan yang baik. sebagaimana yang tersirat dalam “Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuur” (ABBB) Belanda. Antara lain : Asas persamaan, asas kepercayaan, asas kepastian hukum, asas kecermatan, asas pemberian alasan, larangan ‘detournement de pouvoir’, dan larangan bertindak sewenang-wenang.

  1. Ruang lingkup

Good Government lebih luas ruang lingkupnya dibandingkan dengan Clear Government. Karena Clear Government akan tercipta jika terdapat sebuah Good Government. Sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Koripsi, Kolusi dan Nepotisme, Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa : Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.

Namun, begitu juga sebaliknya, Pemerintahan yang baik itu hanya bisa dibangun melalui pemerintahan yang bersih (clear government) dengan aparatur birokrasinya yang terbebas dari KKN. Dalam rangka mewujudkan clear government, pemerintah harus memiliki moral dan proaktif mewujudkan partisipasi serta check and balances. Tidak mungkin mengharapkan pemerintah sebagai suatu komponen dari proses politik memenuhi prinsip clear government dalam ketiadaan partisipasi.

Secara umum, tidak terdapat sebuah perbedaan yang mencolok antara Clear Government dan Good Government. Karena, keduanya saling melengkapi, sebuah penyelenggaraan pemerintahan yang bersih tidak akan terwujud jika tidak terdapat sebuah penyelenggaran pemerintahan yang baik. Begitupun sebaliknya, sebuah penyelenggaraan pemerintahan yang baik akan terasa percuma jika tidak terdapat penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Oleh karena itu, Good government dan Clear Government perlu didukung secara bersamaan agar tercipta suatu penyelenggaraan pemerintahan yang dapat mensejahterakan masyarakatnya.

Daftar bacaan :

1. Wasistiono, sadu. 2007. “Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance”. Jakarta : LIPI Press.

2. Haris, Syamsudin (Ed). 2007. “Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah”. Jakarta : LIPI Press.

3. Imawan, Riswandha. 2007. “Desentralisasi, Demokratisasi dan Pembentukan Good Governance”. Jakarta : LIPI Press.

4. Wairocana, IGN. 2006. “Makna Good Governance dari Perspektif Ilmu Politik”. Denpasar : Perspektif Volume XI No.1 Edisi Januari.

5. Wairocana, IGN. 2006. “Good Governance”. Denpasar : Majalah Ilmiah Kertha Wicaksana Vol. 12 No. 1 Januari.

6. Wairocana, IGN. 2006. “Hakekat Good Governance dari Perspektif Ilmu Hukum”. Denpasar : Kertha Patrika Vol. 31 Januari.

7. Wairocana, IGN. 2006. “GoodGovernance dalam Aturan Hukum atau Kebijaksanaan Publik”. Denpasar : Kertha Patrika Vol. 31 No. 2 Juli.

8. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelengaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

EKSEKUSI DALAM PTUN

EKSEKUSI DALAM PTUN



PELAKSANAAN PUTUSAN (EKSEKUSI)

Dalam Pasal 115 UU PTUN disebutkan bahwa hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap tidak memiliki kekuatan eksekusi atau dengan kata lain putusan pengadilanyang masih mempunyai upaya hukum tidak dapat dimintakan eksekusinya.

Pelaksanaan putusan pengadilan menurut ketentuan Pasal 116 UU PTUN-04 memiliki persamaan dan perbedaan. Perbedaan tersebut membawa implikasi hukumnya masing-masing. Untuk memahami hal itu, berikut dibawah ini akan dikemukakan pelaksanaan putusan menurut Pasal 116 UU PTUN dan menurut Pasal 116 UU PTUN-04. Hal ini perlu dikemukakan agar dapat diketahui apakah perubahan tersebut menjadi lebih baik atau sebaliknya.

Lebih lanjut mengenai pelaksanaan putusan pengadilan TUN dalam Pasal 116 disebutkan :

(1) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari.

(2) Dalam hal 4 bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka KTUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum.

(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

(4) JIka tergugat masih tetap tidak mau melaksanakanya, ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.

(5) Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu 2 bulan setelah menerima pemberitahuan dari ketua pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

(6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 116 tersebut diatas, maka menurut Paulus Effendie Lotulung, sesungguhnya ada dua jenis eksekusi yang kita kenal di peradilan tata usaha Negara :

1. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaiman dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, yaitu kewajiban berupa pencabutan KTUN yang bersangkutan.

2. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 (9) huruf b dan huruf c, yaitu :

huruf b : pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru;atau

huruf c : penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.

Selanjutnya Lotulung menjelaskan bahwa apabila terdapat adanya eksekusi jenis pertama, maka diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (2), yaitu 4 bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka KTUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Dengan demikian tidak perlu lagi ada tindakan-tindakan ataupun upaya-upaya lain dari pengadilan, misalnya surat peringatan dan sebagainya. Sebab KTUN itu dengan sendirinya akan hilang kekuatan hukumnya. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan eksekusi otomatis.

Sebaliknya apabila terdapat adanya eksekusi jenis kedua, maka diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (3) sampai dengan ayat (6), yaitu dengan cara adanya surat perintah dari ketua pengadilan yang ditujukan kepada pejabat TUN yang berssangkutan untuk melaksanakan eksekusi putusan pengadilan tersebut, dan apabila tidak ditaati, maka ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasan pejabat TUN tersebut menurut jenjang jabatan, yang dapat diteruskan sampai ke Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkna pejabat TUN tersebut melaksanakan putusan pengadilan itu. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan eksekusi hierarkis.

Lebih lanjut lagi Lotulung menjelaskan bahwa pada dasarnya eksekusi di PTUN menekankan pada asas self respect dan kesadaran hukum dari pejabat TUN terhadap isi putusan hakim untuk melaksanakannya dengan sukarela tanpa adanya upaya pemaksaan yang langsung dapat dirasakan dan dikenakan oleh pihak pengadilan terhadap pejabat TUN yang bersangkutan.

Meskipun dikatakan bahwa proses eksekusi yang ditempuh menurut cara tersebut diatas merupakan orisinal buah fikiran pembuat undang-undang di Indonesia, sebab sistem seperti itu tidak dikenal di luar negeri. Namun ketentuan tersebut sekaligus merupakan suatu kekurangan, kalau tidak boleh dikatakan justru sebagai suatu kesalahan. Karena, normativisasi hukum tidak cukup hanya sekedar memuat perintah dan larangan. Dibalik larangan, terutamanya harus ada ketentuan sanksi atas ketidakpatuhan. sanksi hukum sampai saat ini masih merupakan alat yang paling ampuh untuk menjaga wibawa hukum atau dengan kata lain agar setiap orang patuh terhadap hukum. Ketidakpatuhan badan atau pejabat TUN untuk melaksanakan putusan pengadilan TUN sedikit banyak dapat mempengaruhi kewibawaan pengadilan, pelecehan terhadap peradilan, dan bukan mustahil jika ketidakpatuhan itu terjadi berulang-ulang, maka masyarakat semakin tidak percaya kepada pengadilan, dan apabila masyarakat cenderung main hakim sendiri bukanlah merupakan perbuatan yang beridiri sendiri.

Dalam Pasal 17 PP 43/1991 jo Pasal 5 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan 1129/1991, memang mengatur dapat diberikannya sanksi administrative terhadap badan atau pejabat TUN yang bersangkutan, tetapi penjatuhan sanksi administrative itu limitative hanya berkaitan dengan kelalaiannya mengakibatkan Negara membayar ganti kerugian. Jadi tidak ada kaitannya dengan perbuatan yang tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai keuatan hukum tetap tersebut.

Pelaksanaan putusan pengadilan dibidang kepegawaian yang berkaitan dengan kewajiban tergugat untuk melakukan rehabilitasi dan membayar sejumlah uang atau kompensasi lain, apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan dalam Pasal 117 UU PTUN. Dalam ketentuan Pasal tersebut, jelas bahwa pemberian kompensasi berkaitan dengan sengketa kepegawaian. kompensasi diberikan, sebagai konsekuensi badan atau pejabat TUN yang bersangkutan tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan PTUN. Kompensasi itu berbentuk sejumlah uang yang besarnya berdasarkan Pasal 14 PP No. 43/1991 adalah paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah), dengan memperhatikan keadaan nyata.

Besarnya jumlah minimal dan maksimal kompensasi tersebut sangat tidak memadai dibandingkan dengan kerugian yang mungkin dapat menimpa pegawai yang bersangkutan. Kelemahan lain dari ketentuan pasal tersebut adalah tidak tersedianya upaya pemaksa agar badan atau pejabat TUN agar membayar kompensasi, dan sanksi yang dapat diberikan kepada badan atau pejabat TUN yang bersangkutan, apabila tidak mematuhi putusan pengadilan atau Mahkamah Agung tentang pembayaran kompensasi tersebut.

Memang ada yang mengatakan bahwa penentuan jumlah kompensasi itu dikaitkan dengan anggaran Negara atau keuangan Negara yang sangat terbatas, sehingga apabila tidak dibatasi Negara dikhawatirkan tidak mampu untuk membayarnya. Pendapat ini sepenuhnya tidak dapat diterima, dengan perhitungan ganti rugi atau kompensasi “dengan memperhatikan keadaan nyata”, setiap badan atau pejabat TUN akan bertindak lebih hati-hati.

Setelah berlakunya UU PTUN-04, maka ketentuan Pasal 116 menjadi berbunyi sebagai berikut :

(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.

(2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.

(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.

(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).”

Dari ketentuan Pasal 116 UU PTUN-04 tersebut diatas, dapat diketahui bahwa perbedaan antara ketentuan Pasal 116 UU PTUN dan ketentuan Pasal 116 UU PTUN-04 ada pada ayat (4) dan ayat (5), aedangkan ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) antara ketentuan Pasal 116 UU PTUN dan Pasal 116 UU PTUN-04 sama sekali tidak ada perbedaan.

sebagaimana yang tlah dikemukakan ketentuan Pasal 116 UU PTUN, dikenal adanya istilah eksekusi otomatis sebagaimana yang terkandung dalam ayat (2) dan eksekusi hirarkis sebagaimana yang terkandung dalam ayat (4), ayat (5), dan ayat (6). Maka apabila diperhatikan ketentuan Pasl 116 UU PTUN-04 dapat disimpulkan bahwa ketentuan ayat (2) masih mengandung eksekusi otomatis. Sedangkan ketentuan ayat (4) dan ayat (5) tidak mengandung eksekusi hirarkis. Tetapi, pada ayat (4) memuat sanksi yang dapat dijatuhkan oleh hakim kepada badan atau pejabat TUN yang tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang berupa uang paksa. Yakni berupa pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim yang dicantumkan dalam amar putusan pada saat mengabulkan gugatan penggugat.

Namun sayangnya pasal ini maupun penjelasannya tidak ada penjelasan bagaimana cara atau pedoman yang digunakan oleh hakim untuk menentukan besarnya uang paksa itu. Bagaimana pula kalau besarnya uang paksa yang ditetapkan oleh hakim itu menurut penggugat sangat kecil atau tidak sebanding dengan nilai tuntutan pokok dari gugatan yang diajukannya. Disamping itu, digantinya tuntutan pokok (tuntutan agar KTUN yang dikeluarkan oleh tergugat tidak sah atau tuntutan agar KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikabulkan oleh tergugat) dengan sejumlah uang sebagaimana disebutkan dalam ayat (4) tersebut tidak masuk akal dan cenderung tidak menyelesaikan masalah. Karena, yang menjadi obyek sengketa adalah KTUN bukan tuntutan ganti kerugian.

Sementara itu, yang berkaitan dengan penjatuhan sansi administrative sebagaimana juga yang disebutkan dalam ayat (4) tidak jelas apa bentuknya, bagaimana implementasinya, dan siapa yang berwenang menjatuhkan sanksinya. Begitu juga halnya dengan ketentuan ayat (5) yang menyebutkan apabila tergugat tidak juga mau membayar sejumlah uang tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka akan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera. Sanksi yang tercantum dalam ayat (5) ini juga tidak sama baiknya dengan sanksi yang tercantum dalam ayat (4). Kelemahan utama yang akan muncul dalam penerapan sanksi ini adalah bahwa tujuan utama dari penggugat untuk menggugat dan menuntut menjadi tetap saja tidak tercapai sebagaimana mestinya. Disamping itu, juga tidak jelas apa tujuan dari pengumuman itu terutama dalam kaitannya dengan pemenuhan kepentingan dari penggugat. Oleh karena itu, perubahan terhadap ketentuan Pasal 116 tersebut tidak dapat dikatakan telah menjadi lebih baik, tetapi tetap saja belum memberikan perlindungan hukum yang semestinya menjadi hak penggugat.

PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN  MELALUI SEKTOR PERIZINAN YANG BERLANDASKAN PRINSIP PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK YANG TRANSPARAN

PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN MELALUI SEKTOR PERIZINAN YANG BERLANDASKAN PRINSIP PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK YANG TRANSPARAN



PENDAHULUAN

Pada saat ini peranan pariwisata sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional. Oleh karena itu sector pariwisata memiliki korelasi dan berbagai potensi yang besar dalam mendukung sektor ekonomi produktif. Dari sudut pandang perekonomian nasional sektor pariwisata dapat dipandang sebagai penyangga sektor non migas karena potensi itu bersumber pada implikasi pariwisata terhadap kehidupan manusia.

Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Pasal 1 angka 3 Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Berpangkal tolak dari pengertian tersebut di atas, maka Pariwisata merupakan suatu fenomena yang bermuara pada hubungan antara perjalanan dengan hunian yang tidak bersifat pemnanen, dengan demikian pariwisata sesungguhnya bukan merupakan tujuan bersifat menetap, akan tetapi terkait dengan pengeluaran sejumlah biaya. Jadi pariwisata pada dasarnya adalah suatu bentuk kegiatan manusia yang berpangkal tolak pada perjalanan atau dengan kata lain pariwisata tersebut merupakan "manusia" dalam "perjalanan". Oleh karena itu pariwisata merupakan suatu bentuk kegiatan manusia yang berpangkal pada perjalanan, maka dari kegiatan itu akan menimbulkan dua hal, yaitu:

1. Timbul berbagai kebutuhan fisik seperti kebutuhan akan sarana transportasi, akomodasi, makanan-minuman, hiburan dan lainlain. Sehubungan dengan itu ditinjau dari sisi wisatawan, maka pariwisata sebenarnya merupakan suatu kegiatan yang bersifat konsumtif, sedangkan dari sisi penyediaan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan wisatawan dapat bersifat produktif. Oleh sebab itu pariwisata merupakan suatu kegiatan yang mempunyai nilai ekonomis atau komersil, sehingga dapat dijadikan sumber devisa, penyediaan lapangan kerja, mendorong timbulnya bidang-bidang usaha baru. Dengan demikian sektor pariwisata dapat dijadikan wahana pemerataan pendapatan.

2. Terjadi interaksi sosial budaya antara wisatawan sebagai tamu dangan masyarakat yang kedatangan sebagai tuan rumah. dari interaksi ini masyarakat akan berkesempatan memperoleh pengalaman dan pengetahuan dari wisatawan, meskipun di sisi lain ada dampak negatifnya dari kegiatan kepariwisataan ini. Karena hal-hal itulah maka pariwisata mempunyai dampak yang luas sekali, baik dampak ekonomi, dan sosial budaya sehingga menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia.

Sementara itu jika dikaitkan dengan perkembangan perspektif birokrasi pemerintahan, akan terlihat relasi dan korelasi dari peranan pemerintah di dalam menyediakan fasilitas-fasilitas, sarana dan prasarana pariwisata bagi komplementaritas antara kebutuhan pengadaan infrastruktur pariwisata dengan obyeknya.

Pariwisata pada hakekatnya merupakan suatu fenomena lokal sehingga prospek pengembangan pariwisata akan mempengaruhi perkembangan daerah. Dari segi ekonomi ia cukup signifikan sebagai basis sumber devisa negara dan pendapatan daerah. Oleh sebab itu keterkaitan nilai ekonomi pada sektor pariwisata akan mendorong timbulnya kegiatan-kegiatan baru di sekitar wiiayah pariwisata dan akan mempengaruhi perkembangan ekonomi sektor informal masyarakat lokal.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan ± 18.110 pulau yang dimilikinya dengan garis pantai sepanjang 108.000 km. Negara Indonesia memiliki potensi alam, keanekaragaman flora dan fauna, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, serta seni dan budaya yang semuanya itu merupakan sumber daya dan modal yang besar artinya bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan. Modal tersebut harus dimanfaatkan secara optimal melalui penyelenggaraan kepariwisataan yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan data statistik, tercatat bahwa sektor pariwisata memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian nasional. Tahun 2002 target perolehan devisa sebesar US $ 5,8 M untuk 5,8 juta wisman, dan tahun 2003 US $ 6,3 M 6,9 juta wisman, sedangkan target 2004 US 7,5 M (Widibyo, 2000). Dengan potensi wisata yang dimiliki masih memungkinkan peluang peningkatan penerimaan negara dari sektor pariwisata. Meskipun demikian, sektor pariwisata sangat rentan terhadap faktor-faktor lingkungan alam, keamanan, dan aspek global lainnya.

Bertolak dari pemikiran diatas, maka diperlukan suatu kerjasama diantara para stakeholder (Pemerintah, swasta, dan masyarakat) dalam rangka mengembangkan kepariwisataan. Tentunya peran terpenting dipegang oleh Pemerintah, karena Pemerintah-lah yang mengeluarkan kebijakan-kebikan tentang pengembangan kepariwisataan. Diantaranya adalah perizinan dan penyelenggaraan pelayanan publik di sektor pariwisata.


PEMBAHASAN

Sistem Perizinan Usaha Pariwisata di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Pasal 1 angka 7, yang dimaksud dengan Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Sementara, jenis-jenis usaha pariwisata diatur dalam Pasal 14 ayat (1) yang menentukan bahwa Usaha pariwisata meliputi, antara lain:

a. daya tarik wisata;

b. kawasan pariwisata;

c. jasa transportasi wisata;

d. jasa perjalanan wisata;

e. jasa makanan dan minuman;

f. penyediaan akomodasi;

g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;

h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran;

i. jasa informasi pariwisata;

j. jasa konsultan pariwisata;

k. jasa pramuwisata;

l. wisata tirta; dan

m. spa.

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Maka pembangunan kepariwisataan diarahkan sebagai alat pemerataan pembangunan baik secara spasial, sektoral maupun structural. Pemeberdayaa daerah sebagai bagian yang paling dekat dengan masyarakat perlu diwujudkan secara nyata, baik dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan pengelolaan potensi yang berada di daerah melalui perwujudan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, maupun peningkatan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat, termasuk usaha nasional beserta lembaga perencanaan dalam pembangunan daerah.

Dalam rangka penanganan urusan dan penyeleggaraan kepariwisataan oleh daerah tersebut, tentu diperlukan adanya standard, norma, pedoman, criteria, dan prosedur selain perumusan kebijakan dari pemerintah pusat, yang menjadi acuan bagi pemerintah daerah terutama berkaitan dengan mekanisme dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, pelayanan kepada masyarakat, dan kegiatan pembangunan.

Dengan demikian manajemen pemerintah daerah harus dapat mendukung pencapaian tujuan otonomi daerah itu sendiri, adanya komposisi proporsional peranan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pengelolaan potensi pariwisata daerah yang harus jelas batas-batasnya. Sesuai tanggung jawab pemerintah pusat untuk menyiapkan penetapan standar pemberian izin oleh daerah dalam kaitan pemberian izin usaha oleh daerah diperlukan adanya suatu pedoman umum perizinan usaha pariwisata.

Tujuan pedoman umum ini adalah :

  1. Adanya kepastian dalam penanganan pemberian dan perolehan izin usaha ;
  2. Adanya transparansi/keterbukaan dalam proses pemberian izin usaha ; dan
  3. Memberikan perlindungan bagi masyarakat/konsumen terhadap jaminan kualitas produk pariwisata.

Sedangkan sasaran pedoman umum ini adalah :

  1. Bagi pemerintah daerah adalah terlaksananya pemberian izin usaha yang mudah, cepat, dan terjangkau ;
  2. Bagi usaha pariwisata adalah dapat dipenuhinya persyaratan serta prosedur yang berlaku dalam perolehan izin usaha secara transparan ; dan
  3. Bagi masyarakat adalah meningkatnya pelayanan usaha pariwisata.

Izin merupakan sarana yuridis administrative yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi Negara. Dengan izin dibentuk suatu hubungan hukum tertentu. Dalam hubungan hukum ini oleh pemerintah dicantumkan syarat-syarat dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh pihak yang memperoleh izin. Izin sebagai sarana yuridis dari pemerintah, pada hakikatnya ditetapkan untuk mengkonkritisasikan wewenangnya dengan beberapa tujuan (motif) tertentu yaitu :

1. Keinginan mengarahkan (mengendalikan) aktivitas-aktivitas tertentu ;

2. Keinginan melindungi obyek-obyek tertentu ;

3. Mencegah bahaya bagi lingkungan ;

4. Hendak membagi-bagi benda yang sedikit ; dan

5. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas.

Sistem perizinan terdiri atas :

1. Larangan serta persetujuan yang merupakan dasar perkecualian : berupa izin ; dan

2. Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin : yaitu syarat-syarat dan kewajiban-kewajiban yang diciptakan/ditentukan oleh pemerintah dan yang menjadi dasar bagi pemerintah member izin.

Penyelenggaraan kegiatan usaha pariwisata dilakukan berdasarkan izin. Izin usaha pariwisata adalah izin untuk membuka usaha serta menjalankan usaha yang diberikan setelan memenuhi syarat-syarat perizinan yang ditetapkan. Bentuk izin antara lain :

  1. Persetujuan prinsip (izin prinsip) ;
  2. Izin sementara usaha pariwisata ;
  3. Izin tetap usaha pariwisata ; dan
  4. Izin operasional.

Sementara Fungsi izin usaha dapat dilihat dari 2 (dua) kepentingan, yaitu :

  1. Bagi dunia usaha :

a. Sebagai dasar/bukti keabsahan menjalankan usaha ;

b. Profesionalisme usaha dan peningkatan pelayanan ;

c. Meningkatkan citra produk wisata ; dan

d. Dipenuhinya ketentuan hukum yang berlaku dalam pengusahaan sehingga terwujud kepastian usaha.

  1. Bagi pemerintah daerah :

a. Sebagai sarana untuk pengawasan dan pengendalian ;

b. Pengaturan lokasi usaha (tata ruang) agar tidak melampaui daya dukung dan perubahan fungsi peruntukannya ;

c. Menjamin terselenggaranya kegiatan yang berkesinambungan dan keselamatan operasional usaha pariwisata ; dan

d. Memperhatikan perlindungan atas kepentingn umum/konsumen.

Kemudian tata cara penerbitan izin usaha pariwisata adalah sebagai berikut :

  1. Permohonan diajukan secara tertulis oleh pimpinan perusahaan kepada Walikota/Bupati setempat. Dalam pengajuan permohonan tersebut bagi usaha pariwisata yang memerlukan bangunan fisik, sudah disertakan salinan izin mendirikan bangunan (IMB) sebagai dasar telah memenuhi persyaratan/memiliki izin lokasi dan izin Undang-Undang Gangguan (HO). Bagi usaha pariwisata yang wajib AMDAL agar melampirkan penyusunan studi AMDAL dan bagi usaha pariwisata yang tidak wajib AMDAL dipersyaratkan UKL dan UPL ;
  2. Proses penilaian berkas permohonan yang disampaikan pemohon sampai dengan diterbitkan atau ditolaknya permohonan dilakukan dengan memperhatikan kecepatan pelayanan dan kelancaran penyelenggaraan usaha ;
  3. Jangka waktu berlakunya izin usaha pariwisata sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang selama usaha pariwisata yang bersangkutan masih menjalankan kegiatan usaha ;
  4. Salinan izin usaha yang diterbitkan oleh Pemda Kabupaten/Kota disampaikan tembusannya kepada Pemda Provinsi dan Pemerintah Pusat cq Menteri Kebudayaan dan Pariwisata ; dan
  5. Terhadap usaha pariwisata yang memerlukan izin yang bersifat khusus yang dikeluarkan oleh instansi teknis, Pemda Kabupaten/Kota memberikan rekomendasi yang ditujukan kepada instansi terkait yang bersangkutan seperti : izin perjalanan umroh bagi biro perjalanan wisata yang telah memperoleh izin usaha dari Pemda.

Prinsip Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang Transparan di Sektor Pariwisata Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Pasal 2 Kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan asas:

a. manfaat;

b. kekeluargaan;

c. adil dan merata;

d. keseimbangan;

e. kemandirian;

f. kelestarian;

g. partisipatif;

h. berkelanjutan;

i. demokratis;

j. kesetaraan; dan

k. kesatuan.

Kemudian fungsi kepariwisataan diatur dalam Pasal 3, yang menyebutkan bahwa Kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan Negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sementara itu didalam Pasal 4, ditentukan bahwa Kepariwisataan bertujuan untuk:

a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi;

b. meningkatkan kesejahteraan rakyat;

c. menghapus kemiskinan;

d. mengatasi pengangguran;

e. melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;

f. memajukan kebudayaan;

g. mengangkat citra bangsa;

h. memupuk rasa cinta tanah air;

i. memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan

j. mempererat persahabatan antarbangsa.

Mengenai Prinsip penyelenggaraan kepariwisataan itu sendiri diatur dalam Pasal 5 yang menyebutkan bahwa Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip:

a. menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan;

b. menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;

c. memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas;

d. memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup;

e. memberdayakan masyarakat setempat;

f. menjamin keterpaduan antarsektor, antardaerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antarpemangku kepentingan;

g. mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; dan

h. memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Harus diakui bahwa birokrasi merupakan salah satu stakeholder pembangunan pariwisata dan karena itu memiliki peran yang strategis untuk menentukan arah dan sasaran pembangunan pariwisata. Peran ini semakin sentral karena dalam era otonomi daerah kewenangan didalam perencanaan, implementasi, dan pengelolaan pariwisata diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah. Implikasinya tentu saja sangat luas, terutama pada kesiapan birokrasi daerah dalam mengimplementasikan kewenangan baru tersebut. Implikasi lainnya adalah bahwa keberhasilan pembangunan kepariwisataan nasional pad akhirnya sangat bergantung pada kemampuan birokrasi di daerah untuk mengelola sumber daya pariwisata.

Namun masih saja, terasa betapa kemampuan entitas birokrasi pariwisata di daerah dalam menjalankan peran strategisnya tersebut dalam perencanaan, implementasi, dan manajemen pembangunan pariwisata masih terbatas. Hal ini disebabkan tidak saja oleh tugas dan kewenangan birokrasi pariwisata yang masih tumpang tindih dengan birokrasi terkait lainnya, melainkan juga terutama oleh realitas sistem rekrutmen dan promosi di llingkungan birokrasi pariwisata yang terlalu didasarkan pada persyaratan umum dan lebih menekankan aspek administrative-formal. Artinya aspek standard kompetensi yang imperative bagi birokrasi kepariwisataan untuk dapat menjalankan peran dan fungsi sebagai pengambil keputusan dibidang terkait dan dengan demikian menjadi kunci keberhasilan pembangunan pariwisata daerah, sampai sekarang belum menjadi criteria pemilihan pegawai dan staf dilingkungan birokrasi kepariwisataan.

Aksentuasi pada standard kompetensi dalam rangka rekrutmen dan promosi aparatur birokrasi pariwisata sebenarnya mempunyai pijakan yang kuat baik secara teoritis maupun ditingkat praktis. Efektivitas birokrasi pariwisata yang antara lain dapat dilihat dari sejauh mana aparat birokrasi tersebut mampu menjalankan tugas yang dibebankan oleh lembaga, sesungguhnya dapat dicapai apabila sumber daya manusia memiliki kompetensi di bidangnya. Dalam prakteknya terlihat bahwa banyak diantara aparatur birokrasi pariwisata yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan, keahlian atau referensi bidang pariwisata, sehingga pencapaian tujuan birokrasi sering terkendala. Sirkulasi aparatur dalam pemerintah daerah yang didasarkan pada kriteria eselonisasi jabatan dan dipandang memiliki relevansi yang rendah dengan tingkat kompetensi pada focus of interest birokrasi pariwisata, iktu menjadi penghambat bagi tercapainya optimalisasi tujuan lembaga tersebut disatu sisi dan pembangunan pariwisata daerah disisi lain.

Apabila tidak segera mendapat penanganan, maka persoalan ini di masa depan akan memuncak karena bersatunya tuntutan kualitas berskala internasional di satu sisi dengan keterbatasan kemampuan aparatur pemerintah daerah untuk memenuhi tuntutan itu di sisi lain. Artinya, keterbatasan kualitas sumber daya manusia di birokrasi pariwisata menjadi satu variable penghambat bagi kemajuan pariwisata daerah, sebab mereka tidak mampu menjalankan peran dalam pengembangan pariwisata yang adaptif dengan permintaan pasar internasional. Persoalan semakin kompleks dengan kecenderungan yang memperlihatkan semakin banyaknya sumber daya manusia di dalam pasar tenaga kerja yang memilki kompetensi dalam bidang kepariwisataan, namun kurang memiliki akses untuk ikut membangun birokrasi pariwisata daerah yang efektif.

Tantangan berikutnya adalah tuntutan perubahan peran pemerintah. Sebagaimana dipelopori oleh Bank Dunia, prinsip-prinsip good governance yang berarti penerapan mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan social yang melibatkan Negara dan masyarakat sipil serta industry dalam suatu usaha kolektif, merupakan tantangan baru entitas birokrasi pariwisata daerah. Dalam aras ini, meskipun entitas birokrasi merupakan actor penting dalam pembangunan pariwisata, perannya tidak boleh dominan. Kewenangan yang dijalankan oleh birokrasi harus dirumuskan terlebih dahulu melaui consensus bersama stakeholder lainnya. Kolektifitas yang terdiri dari berbagai actor inilah yang terlibat dalam membentuk, mengontrol, dan mematuhi kewenangan yang dirumuskan. Dengan kata lain, birokrasi diharuskan oleh peran barunya untuk tidak hanya mampu merumuskan kebikan strategis dan operasional, tetapi juga menjadi dirigen yang piawai mengkoordinasi dan mensinkronisasi semua kegiatan kepariwisataan.

Terkait dengan masuknya prinsip-prinsip good governance dalam pembangunan kepariwistaan yang merupakan landasan bagi penyelenggaran pelayanan publik, salah satunya adalah prinsip transparansi atau keterbukaan. Karakteristik transparansi atau keterbukaan ini sesuai dengan semangat zaman yang serba terbuka akibat adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup semua aspek aktivitas yang menyangkut kepentingan public mulai dari proses pengambilan keputusan penggunaan dana-dana public sampai pada tahapan evaluasi, termasuk sector pariwisata itu sendiri. Dengan demikian, penerapan prinsip-prinsip good governance dalam pengembangan kepariwisataan diharapkan mampu mencapai tujuan pembangunan dan pengembangan kepariwisataan nasional.


PENUTUP

Kesimpulan

Secara langsung maupun tidak langsung pengembangan pariwisata yang dilakukan hendaknya mampu dirasakan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata.

Mendasarkan pada analisa diatas, perlu kiranya ditekankan kembali bahwa orientasi pengembangan pariwisata harus mempertimbangkan sektor perizinan dan menekankan prinsip penyeleggaraan pelayanan publik yang transparan sehingga tercipta keadilan sosial. Selain itu dalam prosesnya perlu pendekatan pelibatan masyarakat dan swasta sehingga akan mengoptimalkan upaya peningkatan kualitas produk pariwisata. Dalam konteks otonomi daerah, setiap daerah dituntut mampu membuat strategi sesuai dengan potensi dan kemampuannya dalam pengembangan pariwisata yang juga akan berpengaruh besar terhadap pembangunan daerah. Untuk itu dituntut adanya kearifan setiap stakeholder untuk mempunyai komitmen terhadap usaha pengembangan ini .

Semua ini akan menjadi tidak efektif dan tidak optimal hasilnya apabila tidak didukung oleh konsep yang sistematis secara formal yang mengaturnya, dimana pemerintah pusat dan pemerintah daerah memeliki kewenangan terhadap hal ini. Menuju hal tersebut peningkatan kualitas sumberdaya manusia menjadi kunci utamanya. Pariwisata sebagai sektor potensial memberikan prospek yang cerah bagi penciptaan kualitas pembangunan nasional. Dengan demikian pengembangan pariwisata pantas diprioritaskan dalam proses pembangunan.

Dalam rangka mencapai tujuan dari pengembangan pariwisata maka diperlukan kerjasama yang seimbang diantara para stakeholder. Sehingga tidak terjadi benturan-benturan terkait dengan pelaksanaan pengembangan usaha pariwisata tersebut. Khusus, bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah diharapkan mampu menerapkan sistem perizinan yang mudah, cepat, dan murah. Namun tidak bertentangan dengan nilai-nilai dari masyarakat local.

Kemudian, tidak kalah pentingnya, untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat diperlukan penyelenggaraan pelayanan public yang lebih transparan lagi, sehingga tercipta suatu keadilan social bagi masyarakat.

DAFTAR BACAAN

  1. Akil, Sjarifuddin. “Implementasi Kebijakan Sektoral Dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Dari Perspektif Penataan Ruang”.
  2. Sudirman, Ujang. “Perspektif Pengembangan Pariwisata Dalam Antisipasi Pelaksanaan Otonomi”. Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi DaerahDepartemen dalam Negeri.
  3. Lupiyanto, Ribut. “Pariwisata Mensiasati Otonomi Daerah”.
  4. J. Spillane, S.J. ,James. “Pariwisata Sebagai Ilmu dan Profesi”
  5. Ardiwidjaja, Roby.Membedah Konsep Pariwisata Berkelanjutan”
  6. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
  7. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.