SURAT KUASA

SURAT KUASA




PENDAHULUAN


Bayangkan anda sedang tidak dapat berbuat apa-apa, sakit keras misalnya. Maka, untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, anda memerlukan orang lain untuk mewakili diri anda melakukan perbuatan tersebut. Begitupun dalam hukum, ketika seseorang tidak dapat atau tidak ingin melakukan suatu perbuatan hukum karena suatu alasan tertentu, maka orang lain dapat mewakili kepentingan hukumnya dengan suatu kuasa. Oleh sebab itu, di dalam hukum dikenal lembaga “Kuasa”. Inti dari lembaga “Kuasa” ini adalah untuk mewakili kepentingan hukum seseorang. Sampai sejauh mana perbuatan-perbuatan hukum dalam kuasa itu dapat diwakili, hal tersebut tergantung pada baik subyek maupun obyeknya. Menurut pasal 1792 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), Pemberian Kuasa adalah “Suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kuasa kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Dari pasal tersebut dapat kita bedah beberapa faktor penting suatu pemberian Kuasa:



PEMBAHASAN

Definisi Surat Kuasa

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga keluaran Balai Pustaka mendefinisikan surat kuasa sebagai “ surat yang berisi tentang pemberian kuasa kepada seseorang untuk mengurus sesuatu”.

Gramatikal bahasa Inggris, mendefinisikan surat kuasa atau Power of Attorney adalah sebuah dokumen yang memberikan kewenangan kepada seseorang untuk bertindak atas nama seseorang lainnya (a document that authorizes an individual to act on behalf of someone else).

Rachmad Setiawan dalam bukunya berjudul “Hukum Perwakilan dan Kuasa” mengatakan peraturan tentang surat kuasa di KUHPerdata sebenarnya mengatur soal latsgeving yang terjemahan harfiahnya “pemberian beban perintah”.

Sedangkan dalam Pasal 1792 BW menyatakan “pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.


Unsur Pemberian Kuasa

Pemberian kuasa (latsgeving) yang terdapat dalam Pasal 1792 BW itu mengandung unsur:

· Persetujuan ;

· Memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan ; dan

· Atas nama pemberi kuasa.

Unsur persetujuan ini harus memenui syarat-syarat persetujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 BW :

· Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ;

· Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;

· Suatu hal tertentu ; dan

· Suatu sebab yang halal.

Unsur memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan adalah sesuai dengan yang telah disetujui oleh para pihak ,baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas.

Unsur atas nama pemberi kuasa berarti bahwa penerima kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Akibatnya tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa.


Subyek Pemberian Kuasa

Subyek Pemberian Kuasa terdiri dari pihak yang memberikan kuasa atau “Pemberi Kuasa” (Lastheber) dan “Penerima Kuasa”. Pemberi Kuasa mewakilkan kepentingan hukumnya kepada Penerima Kuasa sesuai dengan funsi hak dan kewenangan dalam Surat Kuasa. Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa, Penerima Kuasa dapat mewakili kepentingan hukum Pemberi Kuasa dalam berhubungan dengan pihak ketiga. Oleh sebab itu, Pemberi Kuasa bertanggung jawab penuh terhadap tindakan Penerima Kuasa, sepanjang tidak melebihi apa yang dikuasakan. Sesuai dengan kewenangannya itu berdasarkan Surat Kuasa, tindakan Penerima Kuasa sebagai pihak formil memiliki otoritas untuk langsung mengikat si Pemberi Kuasa sebagai pihak materiil.


Obyek Pemberian Kuasa

Obyek dari Pemberian Kuasa, menurut pasal 1792 KUHPer, adalah “menyelenggarakan suatu urusan”. Urusan yang dimaksud adalah meliputi perbuatan-perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan si Pemberi Kuasa.


Berakhirnya Kuasa

Menurut pasal 1813 KUHPer, berakhirnya Pemberian Kuasa dapat disebabkan karena penarikan kembali kuasa oleh Pemberi Kuasa, penghentian kuasa oleh Penerima Kuasa, meninggalnya atau diampunya atau pailitnya Pemberi Kuasa atau Penerima Kuasa, dan karena perkawinan perempuan sebagai pihak Pemberi Kuasa atau Penerima kuasa.


Pemberi Kuasa Menarik Kembali Pemberian Kuasa Secara Sepihak

Berbeda halnya dengan perjanjian, dalam lembaga Pemberian Kuasa penarikan kembali Pemberian Kuasa dapat dilakukan oleh Pemberi Kuasa secara sepihak tanpa persetujuan si Penerima Kuasa. Hal tersebut dapat dilakukan oleh Pemberi Kuasa secara tegas maupun secara diam-diam. Penarikan kembali Pemberian Kuasa secara tegas dilakukan Pemberi Kuasa dengan cara mencabut secara tegas dengan tertulis atau meminta kembali Surat Kuasa dari Penerima Kuasa. Sedangkan penarikan Pemberian Kuasa secara diam-diam dapat dilakukan Pemberi Kuasa dengan cara mengangkat kuasa baru untuk substansi Pemberian Kuasa yang sama. Penarikan Pemberian Kuasa secara sepihak ini tentu memberikan ketidak pastian hukum diantara para pihak, terutama pihak Penerima Kuasa. Oleh sebab itu, dalam praktek dikenal adanya Surat Kuasa Mutlak, yaitu surat kuasa yang tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh Pemberi Kuasa. Meskipun hal tersebut bertentangan dengan pasal 1313 KUHPer, namun dalam praktek hal tersebut dapat dijalankan den dipedomani oleh yurisprudensi. Dengan demikian, apabila para pihak juga memperjanjikan bahwa suatu Pemberian Kuasa tidak dapat ditarik secara sepihak, maka untuk penarikan tersebut harus mengikuti aturan pasal 1338 KUHPer tentang kebebasan berkontrak, yakni perlu ada persetujuan pihak Penerima Kuasa.


Penerima Kuasa Melepas Kuasa

Seperti halnya Pemberi Kuasa, Penerima Kuasa juga dapat melepas kuasa yang diberikan kepadanya secara sepihak. Pelepasan kuasa oleh Penerima Kuasa itu dapat dilakukan dengan cara memberitahukan maksud tersebut kepada Pemberi Kuasa (1817 KUHPer). Namun demikian, pelepasan Pemberian Kuasa secara sepihak itu harus dilakukan oleh Penerima Kuasa dalam suatu kondisi yang layak, dalam arti pelepasan Pemberian Kuasa tersebut tidak akan mengakibatkan kerugian bagi si Pemberi Kuasa.


Meninggal dunia, dibawah pengampuan dan Pailit

Dengan meninggalnya salah satu pihak, dengan sendirinya Pemberian Kuasa itu berakhir (1813 KUHPer). Pemberian Kuasa tidak dapat dilanjutkan kepada ahli waris, kecuali dibuat Pemberian Kuasa yang baru. Demikian pula untuk seseorang yang berada di bawah pengampuan atau dinyatakan pailit, maka terhadap mereka dapat diangkat seorang Penerima Kuasa untuk mewakili melakukan perbuatan hukum orang yang diampu atau orang yang pailit. Juga apabila seorang perempuan berkedudukan sebagai Pemberi Kuasa atau Penerima Kuasa. Apabila ia melakukan perkawinan dengan pihak lawannya dalam Pemberian Kuasa, maka dengan sendirinya Pemberian Kuasa diantara mereka berakhir.


Jenis Kuasa

1. Kuasa Umum

Menurut pasal 1795 KUHPer, jenis Pemberian Kuasa ada dua, yaitu Kuasa Umum dan Kuasa Khusus. Kuasa Umum ditujukan untuk memberikan kuasa kepada Penerima Kuasa untuk mewakili Pemberi Kuasa menjalankan pengurusan seluruh kepentingan Pemberi Kuasa atas harta kekayaan pemberi Kuasa.

2. Kuasa Khusus

3. Kuasa Istimewa

4. Kuasa Perantara

Kuasa Perantara disebut juga agen, yakni dimana Pemberi Kuasa memberikan kuasa kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai perantara atau makelar untuk melakukan perbuatan hukum terhadap pihak ketiga dalam perdagangan keagenan. Kuasa Perantara ini dikonstruksi berdasarkan pasal 1792 KUHPer dan pasal 62 KUHD.


KUASA MENURUT HUKUM

Kuasa menurut hukum adalah Pembeian Kuasa dari seseorang atau suatu badan kepada orang atau badan lain karena undang-undang. Jadi Pemberian Kuasa menurut hukum bukan berasal dari suatu Pemberian Kuasa dari pihak Pemberi Kuasa, melainkan undang-undang itu sendirilah yang memberikan kuasa kepada Penerima Kuasa. Kuasa menurut hukum antara lain:

1. Wali terhadap anak dibawah perwalian

Menurut pasal 51 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, seoranng wali merupakan orang yang dapat mewakili perbuatan hukum seorang anak yang berada dibawah perwalian. Dengan demikian, secara hukum wali adalah Penerima Kuasa dari anak dibawah perwalian.


2. Kurator atas orang yang tidak waras.

Menurut pasal 229 HIR, seorang dewasa yang tidak dapat mengurus dirinya dan harta kekayaannya karena kondisi kurang warasnya itu, dapat diminta untuk diangkat seorang Kurator. Dengan demikian, dalam hal ini Kurator adalah Penerima Kuasa menurut undang-undang yang mewakili kepentingan orang dewasa yang tidak waras itu untuk mengurus kepentingan hukumnya.


3. Orang tua terhada anak yang belum dewasa.

Menurut pasal 45 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, seorang anak sebelum ia dewasa masih berada di bawah perwalian orang tuanya. Oleh sebab itu, selama seorang anak belum dewasa, maka kepentingan hukumnya diwakili oleh orang tuanya. Dengan demikian dalam hal ini orang tua merupakan pihak Penerima Kuasa atas anak yang belum dewasa.


4. Balai Harta Peninggalan (BHP) sebagai kurator kepailitan.

Menurut pasal 13 Undang-undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, jika seseorang dianggap pailit oleh putusan pengadilan, dan debitur maupun kreditur tidak mengangkat seorang kurator, maka pengadilan akan mengangkat kurator. Kurator inilah yang nanti akan mengurusi pemberesan harta pailit. Dengan demikian, Kurator merupakan pihak Penerima Kuasa atas orang pailit.


5. Direksi atau Badan Pengurus Badan Hukum.

Menurut undang-undang Perseroan Terbatas, penanggung jawab perseroan adalah Direksi. Direksi ini yang melakukan pengurusan baik internal dan eksternal, serta direksi pula yang mewakili perusahaan melakukan hubungan hukum dengan pihak-pihak lain. Dengan demikian, maka direksi adalah pihak Penerima Kuasa dari sebuah badan hukum Perseroan Terbatas.


6. Pimpinan perwakilan Perusahaan Asing.

Pimpinan Perwakilan Perusahaan Asing merupakan legal mandatory yang kedudukannya sejajar dengan wettelijke vertegenwoording. Secara hukum, ia adalah Penerima Kuasa dari perusahaan asing.


7. Pimpinan Cabang Perusahaan Domestik.

Menurut Putusan MA No. 779 K/Pdt/1992, pimpinan cabang suatu bank berwenang bertindak untuk dan atas nama pimpinan pusat tanpa memerlukan surat kuasa untuk itu. Dengan demikian, Pimpinan Cabang suatu bank merupakan Penerima Kuasa dari badan hukum Bank.


KUASA KHUSUS MEWAKILI SIDANG PENGADILAN

Menurut pasal 123 ayat (1) HIR, Pemberian Kuasa yang secara khusus diperuntukan mewakili Penggugat atau Tergugat dalam suatu sidang pengadilan dapat diberikan baik secara lisan, dalam surat gugatan, maupun dengan surat kuasa khusus. Macam-macam Pemberian Kuasa tersebut dilakukan dengan ketentuan:

1. Kuasa Secara Lisan

Apabila seseorang tidak dapat membaca dan/atau menulis, maka terhadap orang tersebut dibolehkan mengajukan gugatan secara lisan kepada Ketua pengadilan Negeri, demikian menurut pasal 120 HIR/144 Rbg. Atas pengajuan gugatan secara lisan itu Ketua Pengadilan Negeri kemudian akan mencatat atau menyuruh mencatat gugatannya. Apabila Penggugat mengehedaki memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakilinya berperkara dalam persidangan, maka Ketua Pengadilan Negeri juga akan akan mencatat maksud Pemberian Kuasa dalam gugatan lisan yang diajukan. Terhadap gugatan yang sedang berlangung di pengadilan, para pihak Penggugat dan Tergugat juga dapat memberikan kuasa secara lisan kepada orang lain. Pemberian kuasa itu dilakukan dengan kata-kata tegas (Expressis Verbis), dan majelis kemudian memerintahkan panitera untuk mencatatnya dalam berita acara sidang.


2. Kuasa yang Ditunjuk Dalam Surat Gugatan

Menurut pasal 118 HIR (142 Rbg), gugatan dapat diajukan secara tertulis. Jika dikaitkan dengan pasal 123 HIR (147 Rbg), maka dalam gugatan tertulis itu Penggugat dapat langsung menunjuk pihak lain sebagai Penerima Kuasa yang akan mewakili dirinya dalam persidangan. Secara hukum hal tersebut memenuhi syarat formil dan sah. Namun dalam praktek, pengangkatan kuasa melalui surat gugatan itu harus didasarkan pada surat kuasa khusus, yang menurut hukum sebenarnya bukan merupakan syarat.


3. Surat Kuasa Khusus

Pasal 123 ayat (1) HIR tidak merinci lebih lanjut bagaimana surat kuasa khusus harus dibuat. Pasal tersebut hanya mensyaratkan bahwa kuasa khusus harus dibuat secara tertulis (In writing). Hal ini berarti, dengan mengatakan dalam surat tersebut untuk “memberikan kuasa untuk menghadap di semua pengadilan” adalah sudah cukup sebagai surat kuasa khusus. Namun, untuk dapat benar-benar membedakannya dengan surat kuasa umum, maka sistem peradilan di Indonesia telah memperbaikinya dengan beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).


a. SEMA No. 2 Tahun 1959, tanggal 19 Januari 1959

Menurut SEMA ini, surat kuasa khusus yang memenuhi syarat pasal 123 HIR adalah apabila surat tersebut: menyebutkan kopetensi relatif PN yang mengadili perkara, menyebutkan para pihak yang berperkara, dan menyebutkan obyek perkara secara ringkas dan kongkret. Syarat ini bersifat kumulatif, sehingga satu saja tidak terpenuhi maka surat kuasanya cacat formil dan gugatannya tidak sah.


b. SEMA No. 5 Tahun 1962, Tanggal 30 Juli 1962.

SEMA ini pada prinsipnya melengkapi SEMA No. 2 Tahun 1959 di atas. Menurut SEMA tersebut, apabila dalam pemeriksaan sidang PN maupun PT ditemukan adanya surat kuasa yang tidak memenuhi syarat, maka PN maupun PT dapat menyempurnakannya dengan cara memanggil para pihak dan menanyakan kebenarannya.


c. SEMA No. 1 Tahun 1971, tanggal 23 Januari 1971

SEMA ini mencabut SEMA No. 2 Tahun 1959 dan SEMA No. 5 Tahun 1962. Namun, menurut Yahya harahap, tujuan utama SEMA No. 1 Tahun 1971 ini sebenranya hanya menghapus SEMA No. 5 Tahun 1962, sehingga menurut SEMA ini, apabila dalam pemeriksaan sidang peradilan ditemukan syarat-syarat yang tidak sah, maka PN maupun PT tidak perlu lagi menyempurnakannya.


d. SEMA No. 6 Tahun 1994, tanggal 14 Oktober 1994

Pada dasarnya SEMA ini sejiwa dengan SEMA No. 2 Tahun 1959, yaitu mensyaratkan adanya: pernyataan memberikan kuasa untuk berperkara di pegadilan, kompetensi relatif, para pihak yang berperkara, dan obyek perkara.


Bentuk Formil Kuasa Khusus

Meskipun pasal 123 HIR mensyaratkan surat kuasa harus tertulis, namun pasal tersebut tidak menjelaskan bentuk tulisan formal tertentu sebagai syarat. Dengan demikian, maka surat kuasa khusus dapat saja berbentuk akta notaris, akta yang dibuat di hadapan panitera PN, maupun akta di bawah tangan. Ketiganya sama-sama sah sebagai surat kuasa khusus menurut hukum.


SISTEM OTONOMI DAERAH DAN  PEMEKARAN WILAYAH DI INDONESIA

SISTEM OTONOMI DAERAH DAN PEMEKARAN WILAYAH DI INDONESIA



PENDAHULUAN

Pada masa sebelum 1998, kekuasaan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia sangat sentralistik dan semua daerah di republik ini menjadi perpanjangan tangan kekuasaan Jakarta (pemerintah pusat).

Dengan kata lain, rezim Orde Baru mewujudkan kekuasaan sentripetal, yakni berat sebelah memihak pusat bukan pinggiran (daerah). Daerah yang kaya akan sumber daya alam, ditarik keuntungan produksinya dan dibagi-bagi di antara elite Jakarta, alih alih diinvestasikan untuk pembangunan daerah. Akibatnya, pembangunan antara di daerah dengan di Jakarta menjadi timpang.

B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden pasca-Orde Baru membuat kebijakan politik baru yang mengubah hubungan kekuasaan pusat dan daerah dengan menerbitkan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah atau yang biasa disebut desentralisasi. Dengan terbitnya undangundang

ini, daerah tidak lagi sepenuhnya bergantung pada Jakarta dan tidak lagi mau didikte oleh pusat. Bahkan, beberapa daerah, seperti Aceh, Riau dan Papua menuntut merdeka dan ingin berpisah dari Republik Indonesia.

Pada masa awal reformasi, selain adanya keinginan provinsi memisahkan dari republik, juga bermuncukan aspirasi dari berbagai daerah yang menginginkan dilakukannya pemekaran provinsi atau kabupaten. Dalam upaya pembentukan provinsi dan kabupaten baru ini, tarik-menarik antara kelompok yang setuju dan tidak setuju terhadap pemekaran daerah sebagai akibat dari otonomi daerah meningkatkan suhu politik lokal. Indikasi ini tercermin dari munculnya ancaman dari masing-masing kelompok yang pro dan kontra terhadap terbentuknya daerah baru, mobilisasi massa dengan sentimen kesukuan, bahkan sampai ancaman pembunuhan.

Berangsur-angsur, pemekaran wilayah pun direalisasikan dengan pengesahannya oleh Presiden Republik Indonesia melalui undang-undang. Sampai dengan tanggal 25 Oktober 2002, terhitung empat provinsi baru lahir di negara ini, yaitu Banten, Bangka Belitung, Gorontalo, dan Kepulauan Riau. Pulau Papua yang sebelumnya merupakan sebuah provinsi pun saat ini telah mengalami pemekaran, begitu pula dengan Kepulauan Maluku. Terakhir, pada 4 Desember 2005 sejumlah tokoh dari 11 kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam mendeklarasikan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara dan Provinsi Aceh Barat Selatan. Aceh Leuser Antara terdiri dari lima kabupaten, yakni Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Gayo Lues, dan Bener Meriah. Sedangkan Aceh Barat Selatan meliputi Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Semeulue, dan Nagan Raya.


PEMBAHASAN

Dasar Hukum Otonomi Daerah

Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.

Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”

Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak

menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”

Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka

aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) memberikan definisi otonomi daerah sebagai berikut.

“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut.

“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan/atay kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah, dibentuk pula perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 25 Tahun 1999) yang kemudian diganti dengan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).

Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” direalisasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PP Nomor 6 Tahun 2005).

Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

Pelaksanaan otonomi daerah yang dicanangkan sejak Januari 2001 telah membawa perubahan politik di tingkat lokal (daerah). Salah satunya adalah menguatnya peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Jika di masa sebelumnya DPRD hanya sebagai stempel karet dan kedudukannya di bawah legislatif, setelah otonomi daerah, peran legislatif menjadi lebih besar, bahkan dapat memberhentikan kepala daerah.

Pemberlakuan otonomi daerah beserta akibatnya memang amat perlu dicermati. Tidak saja memindahkan potensi korupsi dari Jakarta ke daerah, otonomi daerah juga memunculkan raja-raja kecil yang mempersubur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di samping itu, dengan

adanya otonomi daerah, arogansi DPRD semakin tidak terkendali karena mereka merupakan representasi elite lokal yang berpengaruh. Karena perannya itu, di tengah suasana demokrasi yang belum terbangun di tingkat lokal, DPRD akan menjadi kekuatan politik baru yang sangat rentan terhadap korupsi.

Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 32 Tahun 2004, public seharusnya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Namun, di beberapa daerah yang sudah mengadopsi sistem otonomi daerah, kenyataan yang terjadi masih jauh dari harapan. Pengambilan keputusan belum melibatkan publik dan masih berada di lingkaran elite lokal provinsi dan kabupaten/kota. Belum terlibatnya publik dalam pembuatan kebijakan itu tercermin dari pembuatan peraturan daerah (perda).

Sebagai contoh dari kenyataan tersebut, sejak pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deli Serdang, Sumatera Utara, telah membuat 43 perda. Dari 43 perda itu, sebagian berkaitan dengan peningkatan pendapatan daerah, yaitu perda tentang retribusi dan pajak. Pembuatan perda semuanya berasal dari eksekutif, kemudian dibawa untuk dibahas di DPRD. Biasanya, DPRD tinggal mengesahkannya saja. Setelah dilakukan pengesahan, perda-perda itu baru disosialisasikan ke publik. Meskipun Pemkab Deli Serdang cukup produktif dalam mengeluarkan peraturan, tidak demikian dengan pelayanan publik yang mereka berikan.

Walaupun pelaksanaan otonomi daerah lebih memikirkan peningkatan pendapatan daerah, seperti yang ditunjukkan dari ringkasan penelitian tentang desentralisasi di 13 kabupaten/kota di Indonesia, implementasi otonomi daerah selain telah mendekatkan pemerintah setempat dengan masyarakat, juga mendorong bangkitnya partisipasi warga.

Otonomi daerah, di lain pihak, memperkenalkan kecenderungan baru, yaitu banyaknya lembaga sosial masyarakat baru yang bertujuan untuk mengatasi konflik, perbedaan etnis, dan masalah sosial-ekonomi dengan bantuan minimal dari pemerintah lokal. Pemerintah local juga mencoba mengadopsikan peran aktif mengasimilasi kepentingan golongan minoritas. Untuk mengatasi masalah asimilasi, pada awal 1970-an, Presiden Soeharto membentuk Badan Kesatuan Bangsa dan Pembaruan Masyarakat (BKBPM), dan setelah reformasi, mengubah namanya menjadi Badan Kesatuan Bangsa (BKB). Badan ini memberikan dana kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bertujuan untuk menjalankan program asimilasi dan membangkitkan sensitif suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan saling pengertian antarkelompok minoritas. Program BKB juga menggunakan LSM dan aparat pemerintah dalam membangun program asimilasi kebudayaan dan kelompok etnis plural.

Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga

pariwisata.

Dasar Hukum Pemekaran Wilayah

UUD 1945 tidak mengatur perihal pembentukan daerah atau pemekaran suatu wilayah secara khusus, namun disebutkan dalam Pasal 18B ayat (1) bahwa, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”

Selanjutnya, pada ayat (2) pasal yang sama tercantum kalimat sebagai berikut.

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Secara lebih khusus, UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Dapat dianalogikan, masalah pemekaran wilayah juga termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut. “Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.”

Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada ayat berikutnya (ayat (3)) yang menyatakan bahwa, “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.” Dan ayat (4) menyebutkan, “Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.”

Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Bagi provinsi, syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota, syarat administratif yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.

Selanjutnya, syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor di bawah ini.

a. Kemampuan ekonomi.

b. Potensi daerah.

c. Sosial budaya.

d. Sosial politik.

e. Kependudukan.

f. Luas daerah.

g. Pertahanan.

h. Keamanan.

i. Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Terakhir, syarat fisik yang dimasud harus meliputi paling sedikit lima kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

Pemekaran Wilayah di Indonesia

Ide pemekaran wilayah merupakan hal yang termasuk baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah setengah abad lebih usia negara ini, tahun 2000 lahir sebuah provinsi baru bernama Banten. Dahulu, wilayah Banten adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat. Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten (UU Nomor 23 Tahun 2000), pemerintah mengesahkan adanya provinsi baru itu pada 17 Oktober 2000. Selanjutnya, diikuti pula munculnya Provinsi Bangka Belitung dari Sumatera Selatan sebagai provinsi induknya, Provinsi Gorontalo (dari Sulawesi Utara), dan Kepulauan Riau (dari Riau) melalui undang-undang yang dibentuk pada tahun yang sama. Kemudian, pada tahun-tahun berikutnya, pemekaran provinsi terjadi di Maluku dan Papua.

Yang terbaru, seperti diketahui, sejumlah tokoh dari 11 kabupaten di Nanggroe Aceh Darussalam mendeklarasikan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara dan Provinsi Aceh Barat Selatan pada 4 Desember 2005 di Jakarta. Aceh Leuser Antara terdiri dari lima kabupaten, yakni Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Gayo Lues, dan Bener Meriah. Sedangkan Aceh Barat Selatan meliputi Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Semeulue, dan Nagan Raya.

Menurut Tagore Abubakar, Ketua DPRD Bener Meriah yang menjadi tokoh pembentukan provinsi baru itu, pendirian wilayah baru tak dapat ditunda lagi meskipun belum didukung pemerintah pusat. Pihaknya merasa pendapatan daerah yang dihasilkan tak sebanding dengan kesejahteraan warga di wilayahnya. Tidak maksimalnya perhatian Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di Kota Banda Aceh dianggap menjadi penyebab utama. Upaya mewujudkan pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara sendiri sudah berlangsung lama. Rancangan undang-undang (RUU) pembentukannya pun sudah dibuat. Namun, RUU itu memang sama sekali belum disentuh DPR. Restu dari Menteri Dalam Negeri M. Ma`ruf seperti yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 pun belum mereka dapatkan.

Bahkan, dari sebuah penelitian, diketahui bahwa sebanyak 80,1% di Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten Karawang setuju terbentuknya provinsi baru yang terpisah dari Jawa Barat. Data ini diperoleh dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Lembaga Pemberdayaan dan Pengembangan Publik Daerah (LP3D) pada 14 Januari sampai 24 Februari 2005. Dalam jajak pendapat tersebut, seribu responden dipilih secara acak untuk diminta menjawab sepuluh pertanyaan.

Dari sepuluh pertanyaan yang diajukan kepada responden, tiga di antaranya adalah sebagai berikut.

a. Apakah pembentukan provinsi baru akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat?

b. Apakah pembentukan provinsi baru akan meningkatkan efektivitas koordinasi pemerintahan?

c. Apakah pembentukan provinsi baru akan meningkatkan potensi pertambangan dalam peningkatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)?

Berdasarkan hasil penelitian itu, pembentukan provinsi baru di wilayah tersebut dinilai sangat realistis dan sesuai dengan paying hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan syarat pembentukan provinsi berdasarkan syarat administrasi, teknis, dan fisik kewilayahan.

Dari kenyataan yang ada serta hasil dari berbagai penelitian seperti dicontohkan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pemekaran wilayah, terutama pembentukan provinsi baru. Menunjangnya sebuah daerah dalam beberapa hal menjadi penyebab utama sebuah wilayah menginginkan melepaskan diri dari wilayah induknya, hal-hal tersebut adalah:

a. kemampuan ekonomi;

b. potensi daerah;

c. sosial budaya;

d. sosial politik;

e. kependudukan;

f. luas daerah;

g. pertahanan;

h. keamanan;

i. dan faktor lain yang menunjang otonomi daerah.


PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

a. Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai perangkat hukum yang mengatur pemerintahan daerah sesuai amanat UUD 1945, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) yang mengatur secara jelas pemberlakuan otonomi daerah, begitu pula dalam hal pembentukan daerah atau pemekaran

wilayah.

b. Dalam sistem otonomi daerah dikenal istilah-istilah yang amat penting dalam pelaksanaannya, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.

c. Pemberlakuan sistem otonomi daerah telah membawa perubahan politik di tingkat lokal, hal ini memberikan dampak positif maupun dampak negatif.

d. Menunjangnya sebuah daerah dalam beberapa hal, seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, dan sebagainya menjadi penyebab utama sebuah wilayah menginginkan melepaskan diri dari wilayah induknya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pemekaran wilayah.

Pemerintah pusat tetap harus mengatur dan menjalankan urusan di beberapa sektor di tingkat kabupaten dan menjamin bahwa pemerintah lokal punya kapasitas dan mekanisme bagi pengaturan hukum tambahan atas bidang-bidang tertentu dan penyelesaian perselisihan. Selain itu, pemerintah pusat juga harus menguji kembali dan memperketat kriteria pemekaran wilayah dengan lebih mengutamakan kelangsungan hidup ekonomi kedua kawasan yang

bertikai, demikian pula tentang pertimbangan keamanan.


DAFTAR BACAAN

  1. Sabarno, Hari. 2007. “Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa”. Jakarta : Sinar Grafika.
  2. MacAndrews, Colin dkk. 1995. “Hubungan Pusat-Daerah dalam Pembangunan”. Jakarta : PT. Raja Grafindo.
  3. Koswara, E. 2002. “Otonomi Daerah Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat”. Jakarta : PT. Candi Cipta Paramuda.
  4. Haris, Syamsuddin dkk. 2007. “Desentralisasi dan Otonomi Daerah”. Jakarta : LIPI Press.
  5. Gunawan, Jamil. Ed. 2005. “Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal”. Jakarta: LP3ES.

Undang-Undang

  1. Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 tahun 2004, TLN No. 4437.
  3. Indonesia, Undang-Undang Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, No. 33 Tahun 2004, LN No. 126 tahun 2004, TLN No. 4438.
  4. Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP No. 6 tahun 2005, LN No. 22 tahun 2005, TLN No. 4480.