KEPOLISIAN DAN KEJAKSAAN SEBAGAI SUB-SISTEM PENEGAKAN HUKUM



PENDAHULUAN

Integrated Criminal Justice System menurut Sukarton Marmosudjono, adalah sistem peradilan perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang keadilan dan penyelenggaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan kesatuan. Pelaksanaan peradilan terdiri dari beberapa komponen seperti penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Integrated Criminal Justice System adalah suatu usaha untuk mengintegrasikan semua komponen tersebut sehingga peradilan dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan.

Dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI menyebutkan bahwa :

“Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat”.

Sedangkan dalam UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI Pasal 2 (1) menyenbutkan bahwa :”Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.

Dari isi kedua UU tersebut,dapat diketahui bahwa baik Kepolisian maupun Kejaksaan merupakan lembaga pemerinthan di bidang penegakan hukum. Hal ini sudah sesuai degan pengertian dalam kepustakaan internasional yaitu istilah law enforcement officer atau wershandhaver yang merujuk pada kewenangan memaksakan hukum, adalah hanya untuk profesi polisi (police officer) dan profesi penuntut umum (public prosecutor).

Penegak hukum dapat dibedakan dalam pengertian luas dan pengertian yang sempit. Dalam arti luas, penegak hukum adalah setiap orang yang mentaati hukum. Sedangkan dalam arti sempit, terbatas pada orang yang diberi wewenang memaksa oleh undang-undang untuk menegakkan hukum.

Sedangkan menurut Marjono Reksodiputro, istilah penegak hukum dalam arti sempit hanya berarti Polisi, tetapi dapat juga mencakup Jaksa. Sedangkan di Indonesia, pengertian tersebut biasanya diperluas lagi dan meliputi juga para Hakim, dan ada kecenderungan kuat memasukkan pula dalam pengertian penegak hukum ini adalah para Advokat.


PEMBAHASAN

Fungsi dan Tugas Kepolisian sebagai Sub-Sistem Penegakan Hukum

Dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya dalam Pasal 5 disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Kemudian, di dalam Pasal 13 disebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

(1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

(2) menegakkan hokum dan;

(3) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Dari serangkaian tugas kepolisian, salah satu tugas yang mendapatkan perhatian adalah tugas dalam rangka menegakkan hukum. Sebagai penegak hukum, polisi masuk dalam jajaran sistem peradilan pidana, sebagai salah satu subsistem. Subsistem yang lain adalah kejaksaan, kehakiman, dan pemasyrakatan. Dalam sistem peradilan pidana, polisi merupakan “pintu gerbang” bagi para pencari keadilan. Dari sinilah segala sesuatunya dimulai. Posisi awal ini menempatkan polisi pada posisi yang tidak menguntungkan.

Sebagai penyidik polisi harus melakukan penangkapan dan (bila perlu) penahanan, yang berarti polisi harus memiliki dugaan yang kuat bahwa orang tersebut adalah pelaku kejahatan. Satjipto Rahardjo menyebut tugas kepolisian sebagai “multi fungsi”, yaitu tidak sebagai polisi saja tetapi juga sebagai jaksa dan hakim sekaligus.

Sebagai penegak hukum, tugas kepolisian telah dicantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP, wewenang kepolisian baik sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik telah dicantumkan secara terperinci dalam Pasal 5 dan seterusnya.

Dari rangkaian tugas penegakan hukum dapat diketahui bahwa tugas kepolisian bukan merupakan tugas yang ringan. Dengan segala keterbatasan, ketrampilan dalam melakukan penyidikan masih tetap harus ditingkatkan guna “mengejar” modus kriminalitas yang semakin kompleks.

Menyangkut tugas Kepolisian maka Pasal 4 UU No. 2 tahun 2002 menyatakan tujuan lembaga Kepolisian sebagai berikut: “ Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Selanjutnya, Pasal 5 (1) menyebutkan bahwa: ”Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Kedua Pasal tersebut diatas telah menempatkan Polisi dalam posisi disamping menjamin tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna mewujudkan keamanan da ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam Negara, juga menempatkan Polisi sebagai alat pertahanan Negara.

Melalui keputusan Presiden RI No. 89 Tahun 2000 tanggal 1 Juli 2000, fungsi kepolisian dipisahkan dari fungsi pertahanan keamanan sebagaimana disebut dalam Pasal 1 Keputusan Presiden tersebut : “Kepolisian Negara RI merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai tugas pokok menegakkan hukum, ketertiban umum dan memelihara keamanan dalam negeri.”

Keputusan Presiden tersebut telah disusul dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. Dalam konsiderannya secara jelas dikatakan: “bahwa telah terjadi perubahan paradigm dalam sistem ketatanegaraan yang menegaskan pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara RI sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.”

Fungsi da tugas Kepolisian sebagai sub-sistem peradilan pidana terkait dengan fungsi penyelidikan dan penyidikan. Dalam prakteknya ternyata Polisi bukan satu-satunya penyelidik. Terdapat beberapa institusi tertentu yang juga melaksanakan tugas penyelidikan meski untuk tindak pidana tertentu, misalnya KOMNAS HAM, KPPU, KPK.

Kondisi tersebut tentunya menimbulkan masalah tentang siapa sebenarnya yang paling berhak melakukan penyelidikan atas suatu tindak pidana. Sedangkan mengenai fungsi Polisi sebagai penyidik, Polisi ternyata bukanlah satu-satunya institusi yang berwenang menyidik suatu tindak pidana Pasal 1 ayat (4) KUHAP. Masih terdapat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang juga diberi hak untuk melakukan penyidikan. Jadi KUHAP memungkinkan adanya penyidik yang bukan polisi. Dalam berbagai undang-undang kita dapat menjumpai aturan tentang penyidikan yang harus dilakukan penyidik selain polisi, dalam hal ini PPNS, misalnya antara lain : bidang perikanan (UU No. 9 Tahun 1985), bidang imigrasi (UU No. 9 Tahun1992, bidang Haki (UU No. 14 Tahun 2001, UU No. 15 Tahun 2001, UU No. 31 Tahun 2001) dan undang-undang lainnya.

Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf e UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Negara Republik Indonesia, akan ditemukan tumpang tindih tugas penyidikan. Dibidang peradilan pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang untuk melengkapi berkas perkara tertentu. Oleh karena itu, Kejaksaan dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan.

Bagaimana hubungan antara lembaga Kepolisian dan lembaga-lembaga lainnya yang oleh undang-undang diberikan wewenang untuk menjalankan tugas penyelidikan atau tugas penyidikan, diatur dalam Pasal 42 ayat (1) UU Kepolisian, yaitu : “Hubungan dan kerja sama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan badan, lembaga, serta instansi di dalam dan di luar negeri didasarkan atas sendi-sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling membantu, mengutamakan kepentingan umum, serta memperhatikan hierarki.

Fungsi dan Tugas Kejaksaan sebagai Sub-Sistem Penegakan Hukum

Jaksa atau public prosecutor, solicitor (Inggris), attorney (Amerika Serikat), Officier van Justitie (Belanda), procureur (Perancis), procuratore (Italia), adalah sebutan-sebutan bagi suatu institusi dalam sistem peradilan pidana yang memiliki fungsi menuntut atau membuat dakwaan.

Hampir dalam semua yurisdiksi hukum di dunia, baik dalam tradisi anglo saxon, atau tradisi Eropa Kontinental, jaksa merupakan tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana, karena ia memainkan peran penting dalam proses pembuatan dakwaan/tuntutan. Sekalipun polisi lebih terlatih dalam mengumpulkan bukti-bukti di tempat terjadinya kejahatan, pun polisi memiliki komposisi sumber daya manusia dan perlengkapan yang lebih baik, mereka tetap tergantung kepada Jaksa dan tetap memerlukan nasihat dan pengarahan jaksa. Salah satu sebabnya mungkin karena umumnya jaksa lebih mahir dalam masalah yuridis dan memiliki hak utama yang eksklusif dalam menghubungi pengadilan. Bahkan, di Negara –negara di mana jaksa tidak melakukan penyidikan sendiri (termasuk Indonesia), jaksa tetap memiliki kebijaksanaan/discretion penuntutan yang luas. Dengan kata lain, jaksa memiliki kekuasaan untuk menetapkan apakah akan menuntut atau tidak menuntut hampir semua perkara pidana.

Jaksa sebagai bagian dari sistem peradilan pidana memiliki posisi yang strtegis dalam pencapaian tujuan dari sistem tersebut. Betapa tidak, posisi penting yang dimiliki oleh institusi kejaksaan adalah berkaitan dengan lingkup pekerjaan yang diembannya yang melikupi tahap praajudikasi, ajudikasi dan purnaajudikasi. Lingkup pekerjaan yang diemban oleh institusi kejaksaan melingkupi sejak awal proses hingga proses peradilan pidana itu berakhir inilah yang menyebabkan jaksa dalam menjalankan tugas dan kewenangannya akan

selalu bersinggungan dengan tugas dan kewenangan instansi lainnya yaitu polisi dan hakim.

Pada tahap pra ajudikasi, memang posisi jaksa sebagai penuntut umum amat bergantung pada peran yang dimainkan oleh polisi dalam tahap penyelidikan dan penyidikan. Meskipun didalam KUHAP kewenangan Jaksa tidak lagi sebesar peranan yang dimainkannya ketika HIR masih berlaku, yang menyatakan kewenangan penyelidikan dan penyidikan pun menjadi kompetensinya.Namun demikian dalam perkara-perkara yang termasuk dalam golongan tindak pidana khusus, jaksa masih memegang kewenangan ini.

Terlepas dari permasalahan kewenangan yang terjadi dalam praktek, jaksa sesungguhnya amat berkepentingan atas proses yang berlangsung dalam tahap praajudikasi dari sistem peradilan pidana baik dalam perkara-perkara tindak pidana umum, tindak pidana khusus dan bahkan kejahatan luar biasa yang diatur dalam Dalam proses purna ajudikasi, peran jaksa tidak kalah pentingnya. Undang- Undang menempatkan jaksa sebagai pelaksana putusan hakim. Dalam hal ini lagi-lagi pihak kejaksaan dituntut untuk mampu bekerjasama dengan berbagai institusi lain dalam sistem peradilan pidana yang dalam hal ini adalah hakim

dan LAPAS. Lebih jauh, hal ini diatur dalam Bab II Pasal 27 Undang-Undang No. 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang menyatakan tugas dan kewenangan kejaksaan dalam perkara pidana meliputi :

1. melakukan penuntutan dalam perkara pidana;

2. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan;

3. melakukan pengawasan tehadap pelaksanaan putusan lepas bersyarat;

4. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Sedangkan dalam UU No. 16 Tahun 2004 Pasal 30 menyebutkan tugas dan wewenang kejaksaan sebagai berikut :

(1) Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :

a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana

pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan

sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan

penyidik.

(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;

c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.

Selanjutnya, secara khusus dalam Pasal 35 Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:

a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;

b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang;

c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;

d. Mengajukan kasasi dem kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;

e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;

f. Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam pelaksanaan tugas-tugas tersebut, pihak kejaksaan harus berkoordinasi dengan seluruh sub sistem yang terpaut dalam sistem peradilan pidana, pihak atau instansi lain yang menangani atau berkepentingan dengan hal tersebut seperti RUTAN, BAPAS, LAPAS dan Advokat. Sistem peradilan pidana pada dasarnya merupakan sistem fisik berupa

kerjasama secara terpadu antar sub sistem untuk mencapai tujuan tertentu dan sistem abstrak berupa persamaan persepsi antar sub sistem terhadap pandangan, sikap, nilai bahkan filosofi yang mendasari sistem tersebut. Pencapaian tujuan nya pun karenanya harus diupayakan melalui kerjasama, kesamaan pandangan, sikap dan nilai dari masing-masing sub sistem.

Mengingat tugas dan kewenangan jaksa yang melingkupi setiap proses dalam peradilan pidana, maka jaksa memiliki peranan besar dalam upaya peningkatan aspek publik ke peradilan pidana. Upaya peningkatan akses public dapat dilakukan oleh pihak kejaksaan sejak awal mulainya proses peradilan pidana di kepolisian hingga akhir dari proses tersebut yaitu di LAPAS.

Beberapa contoh peran yang dapat dimainkan oleh pihak kejaksaan dalam upaya peningkatan aspek publik ke peradilan pidana misalnya :

1. Dalam proses praajudikasi, upaya perlindungan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa dalam perkara tindak pidana umum memang menjadi kewenangan pihak kepolisian, Kejaksaan dapat berfungsi sebagai pemantau berjalannya proses penyelidikan atau penyidikan dimana dengan pola keterpaduan yang ada dalam sistem yang berjalan sesungguhnya memungkinkan jaksa untuk melakukan hal tersebut.

2. Dalam proses penuntutan, jaksa berposisi sebagai wakil dari negara. Hal tersebut menempatkan jaksa seolah-olah tidak memiliki kepentingan atas individu orang-perorangan ataupun pihak lain yang sebetulnya menderita kerugian atas tindak pidana yang terjadi. Pandangan atas pekerjaan jaksa sebagai wakil negara adalah melindungi kepentingan masyarakat secara luas yang amat berbeda dengan perspektif perdata yang melihat kerugian orang-perorang. Berkaitan dengan akses publik, maka paradigma yang demikian agaknya harus dikaji kembali, karena mau tak mau dan secara tidak langsung sebetulnya posisi jaksa adalah sebagai wakil dari pihak yang dirugikan atas terjadinya tindak pidana yang dalam hal ini adalah korban atau keluarganya dalam lingkup yang kecil dan negara dalam lingkup yang besar. Perlakuan pihak kejaksaan terhadap posisi korban perlu ditinjau kembali dalam proses

yang berjalan selama ini.

3. Dalam hal proses purna ajudikasi, jaksa sebagai eksekutor atau pelaksana putusan amat berperan untuk:

- menginfomasikan hasil putusan pada pihak-pihak yang berkepentingan;

- menyelesaikan segala permasalahan yang menyangkut:

¨ pengembalian barang bukti;

¨ melakukan penyelesaian yang menyangkut ganti rugi, rehabilitasi dan eksekusi atas putusan termasuk didalamnya informasi atas penempatan terpidana selama menjalani pidananya kepada pihak keluarga;

¨ terhadap terpidana dengan hukuman percobaan, pihak kejaksaan harus berkoordinasi dengan pihak BAPAS.

Berkaitan dengan hal diatas, pihak kejaksaan memiliki peran besar dalam upaya perlindungan terhadap saksi atau saksi korban sepanjang proses berlangsung.


PENUTUP

Simpulan

Adapun simpulan yang dapat ditarik dari pembahasan diatas adalah sebagai berikut:

1. Kepolisian dan Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan di bidang penegakan hukum.

2. Kepolisian dan Kejaksaan memiliki peranan yang sangat penting dalam melaksanakan penegakan hukum sebagai sub-sistem peradilan pidana.

3. Kepolisian dan Kejaksaan dapat melakukan hubungan kerja sama untuk menjalankan fungsi dan tugas masing-masing dalam rangka menyelesaikan suatu tindak pidana.

4. Terdapat tumpang tindih dalam melaksanakan fungsi dan tugas antara Kepolisian dan Kejaksaan.

1. Kepolisian dan Kejaksaan dalam menjalankan fungsi dan tugas harus lebih ditingkatkan lagi. Agar penegakan hukum dapat berjalan dengan lancar.

2. Pembagian tugas dan wewenang yang tegas diantara Kepolisian dan Kejaksaan hendaknya menghasilkan keterpaduan yang diperlukan dalam penyelesaian perkara yang cepat, sederhana dan biaya ringan.

3. Pembagian tugas dan wewenang yang tegas itu hendaknya dijaga jangan sampai terjadi pengkotak-kotakan diantara Kepolisian dan Kejaksaan yang dapat menyebabkan kebuntuan dalam sistem peradilan pidana.

DAFTAR BACAAN

1. Kaligis, O.C., 2006, “Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korusi”, Bandung : P.T. Alumni.

2. Rahardjo, Satjipto, Studi Kepolisian Indonesia : Metodologi dan Substansi, Makalah Disampaikan Pada Simposium Nasional Polisi Indonesia, Diselenggarakan Oleh Pusat Studi Kepolisian FH Undip Bekerjasama Dengan Akademi Kepolisian Negara (AKPOL) dan Mabes Polri, Semarang, 19 –20 Juli 1993.

3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

4. Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.