EKSEKUSI DALAM PTUN



PELAKSANAAN PUTUSAN (EKSEKUSI)

Dalam Pasal 115 UU PTUN disebutkan bahwa hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap tidak memiliki kekuatan eksekusi atau dengan kata lain putusan pengadilanyang masih mempunyai upaya hukum tidak dapat dimintakan eksekusinya.

Pelaksanaan putusan pengadilan menurut ketentuan Pasal 116 UU PTUN-04 memiliki persamaan dan perbedaan. Perbedaan tersebut membawa implikasi hukumnya masing-masing. Untuk memahami hal itu, berikut dibawah ini akan dikemukakan pelaksanaan putusan menurut Pasal 116 UU PTUN dan menurut Pasal 116 UU PTUN-04. Hal ini perlu dikemukakan agar dapat diketahui apakah perubahan tersebut menjadi lebih baik atau sebaliknya.

Lebih lanjut mengenai pelaksanaan putusan pengadilan TUN dalam Pasal 116 disebutkan :

(1) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari.

(2) Dalam hal 4 bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka KTUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum.

(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

(4) JIka tergugat masih tetap tidak mau melaksanakanya, ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.

(5) Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu 2 bulan setelah menerima pemberitahuan dari ketua pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

(6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 116 tersebut diatas, maka menurut Paulus Effendie Lotulung, sesungguhnya ada dua jenis eksekusi yang kita kenal di peradilan tata usaha Negara :

1. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaiman dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, yaitu kewajiban berupa pencabutan KTUN yang bersangkutan.

2. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 (9) huruf b dan huruf c, yaitu :

huruf b : pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN yang baru;atau

huruf c : penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.

Selanjutnya Lotulung menjelaskan bahwa apabila terdapat adanya eksekusi jenis pertama, maka diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (2), yaitu 4 bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka KTUN yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Dengan demikian tidak perlu lagi ada tindakan-tindakan ataupun upaya-upaya lain dari pengadilan, misalnya surat peringatan dan sebagainya. Sebab KTUN itu dengan sendirinya akan hilang kekuatan hukumnya. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan eksekusi otomatis.

Sebaliknya apabila terdapat adanya eksekusi jenis kedua, maka diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (3) sampai dengan ayat (6), yaitu dengan cara adanya surat perintah dari ketua pengadilan yang ditujukan kepada pejabat TUN yang berssangkutan untuk melaksanakan eksekusi putusan pengadilan tersebut, dan apabila tidak ditaati, maka ketua pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasan pejabat TUN tersebut menurut jenjang jabatan, yang dapat diteruskan sampai ke Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkna pejabat TUN tersebut melaksanakan putusan pengadilan itu. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan eksekusi hierarkis.

Lebih lanjut lagi Lotulung menjelaskan bahwa pada dasarnya eksekusi di PTUN menekankan pada asas self respect dan kesadaran hukum dari pejabat TUN terhadap isi putusan hakim untuk melaksanakannya dengan sukarela tanpa adanya upaya pemaksaan yang langsung dapat dirasakan dan dikenakan oleh pihak pengadilan terhadap pejabat TUN yang bersangkutan.

Meskipun dikatakan bahwa proses eksekusi yang ditempuh menurut cara tersebut diatas merupakan orisinal buah fikiran pembuat undang-undang di Indonesia, sebab sistem seperti itu tidak dikenal di luar negeri. Namun ketentuan tersebut sekaligus merupakan suatu kekurangan, kalau tidak boleh dikatakan justru sebagai suatu kesalahan. Karena, normativisasi hukum tidak cukup hanya sekedar memuat perintah dan larangan. Dibalik larangan, terutamanya harus ada ketentuan sanksi atas ketidakpatuhan. sanksi hukum sampai saat ini masih merupakan alat yang paling ampuh untuk menjaga wibawa hukum atau dengan kata lain agar setiap orang patuh terhadap hukum. Ketidakpatuhan badan atau pejabat TUN untuk melaksanakan putusan pengadilan TUN sedikit banyak dapat mempengaruhi kewibawaan pengadilan, pelecehan terhadap peradilan, dan bukan mustahil jika ketidakpatuhan itu terjadi berulang-ulang, maka masyarakat semakin tidak percaya kepada pengadilan, dan apabila masyarakat cenderung main hakim sendiri bukanlah merupakan perbuatan yang beridiri sendiri.

Dalam Pasal 17 PP 43/1991 jo Pasal 5 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan 1129/1991, memang mengatur dapat diberikannya sanksi administrative terhadap badan atau pejabat TUN yang bersangkutan, tetapi penjatuhan sanksi administrative itu limitative hanya berkaitan dengan kelalaiannya mengakibatkan Negara membayar ganti kerugian. Jadi tidak ada kaitannya dengan perbuatan yang tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai keuatan hukum tetap tersebut.

Pelaksanaan putusan pengadilan dibidang kepegawaian yang berkaitan dengan kewajiban tergugat untuk melakukan rehabilitasi dan membayar sejumlah uang atau kompensasi lain, apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan dalam Pasal 117 UU PTUN. Dalam ketentuan Pasal tersebut, jelas bahwa pemberian kompensasi berkaitan dengan sengketa kepegawaian. kompensasi diberikan, sebagai konsekuensi badan atau pejabat TUN yang bersangkutan tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan PTUN. Kompensasi itu berbentuk sejumlah uang yang besarnya berdasarkan Pasal 14 PP No. 43/1991 adalah paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah), dengan memperhatikan keadaan nyata.

Besarnya jumlah minimal dan maksimal kompensasi tersebut sangat tidak memadai dibandingkan dengan kerugian yang mungkin dapat menimpa pegawai yang bersangkutan. Kelemahan lain dari ketentuan pasal tersebut adalah tidak tersedianya upaya pemaksa agar badan atau pejabat TUN agar membayar kompensasi, dan sanksi yang dapat diberikan kepada badan atau pejabat TUN yang bersangkutan, apabila tidak mematuhi putusan pengadilan atau Mahkamah Agung tentang pembayaran kompensasi tersebut.

Memang ada yang mengatakan bahwa penentuan jumlah kompensasi itu dikaitkan dengan anggaran Negara atau keuangan Negara yang sangat terbatas, sehingga apabila tidak dibatasi Negara dikhawatirkan tidak mampu untuk membayarnya. Pendapat ini sepenuhnya tidak dapat diterima, dengan perhitungan ganti rugi atau kompensasi “dengan memperhatikan keadaan nyata”, setiap badan atau pejabat TUN akan bertindak lebih hati-hati.

Setelah berlakunya UU PTUN-04, maka ketentuan Pasal 116 menjadi berbunyi sebagai berikut :

(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.

(2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.

(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.

(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).”

Dari ketentuan Pasal 116 UU PTUN-04 tersebut diatas, dapat diketahui bahwa perbedaan antara ketentuan Pasal 116 UU PTUN dan ketentuan Pasal 116 UU PTUN-04 ada pada ayat (4) dan ayat (5), aedangkan ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) antara ketentuan Pasal 116 UU PTUN dan Pasal 116 UU PTUN-04 sama sekali tidak ada perbedaan.

sebagaimana yang tlah dikemukakan ketentuan Pasal 116 UU PTUN, dikenal adanya istilah eksekusi otomatis sebagaimana yang terkandung dalam ayat (2) dan eksekusi hirarkis sebagaimana yang terkandung dalam ayat (4), ayat (5), dan ayat (6). Maka apabila diperhatikan ketentuan Pasl 116 UU PTUN-04 dapat disimpulkan bahwa ketentuan ayat (2) masih mengandung eksekusi otomatis. Sedangkan ketentuan ayat (4) dan ayat (5) tidak mengandung eksekusi hirarkis. Tetapi, pada ayat (4) memuat sanksi yang dapat dijatuhkan oleh hakim kepada badan atau pejabat TUN yang tidak mau melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang berupa uang paksa. Yakni berupa pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim yang dicantumkan dalam amar putusan pada saat mengabulkan gugatan penggugat.

Namun sayangnya pasal ini maupun penjelasannya tidak ada penjelasan bagaimana cara atau pedoman yang digunakan oleh hakim untuk menentukan besarnya uang paksa itu. Bagaimana pula kalau besarnya uang paksa yang ditetapkan oleh hakim itu menurut penggugat sangat kecil atau tidak sebanding dengan nilai tuntutan pokok dari gugatan yang diajukannya. Disamping itu, digantinya tuntutan pokok (tuntutan agar KTUN yang dikeluarkan oleh tergugat tidak sah atau tuntutan agar KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikabulkan oleh tergugat) dengan sejumlah uang sebagaimana disebutkan dalam ayat (4) tersebut tidak masuk akal dan cenderung tidak menyelesaikan masalah. Karena, yang menjadi obyek sengketa adalah KTUN bukan tuntutan ganti kerugian.

Sementara itu, yang berkaitan dengan penjatuhan sansi administrative sebagaimana juga yang disebutkan dalam ayat (4) tidak jelas apa bentuknya, bagaimana implementasinya, dan siapa yang berwenang menjatuhkan sanksinya. Begitu juga halnya dengan ketentuan ayat (5) yang menyebutkan apabila tergugat tidak juga mau membayar sejumlah uang tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka akan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera. Sanksi yang tercantum dalam ayat (5) ini juga tidak sama baiknya dengan sanksi yang tercantum dalam ayat (4). Kelemahan utama yang akan muncul dalam penerapan sanksi ini adalah bahwa tujuan utama dari penggugat untuk menggugat dan menuntut menjadi tetap saja tidak tercapai sebagaimana mestinya. Disamping itu, juga tidak jelas apa tujuan dari pengumuman itu terutama dalam kaitannya dengan pemenuhan kepentingan dari penggugat. Oleh karena itu, perubahan terhadap ketentuan Pasal 116 tersebut tidak dapat dikatakan telah menjadi lebih baik, tetapi tetap saja belum memberikan perlindungan hukum yang semestinya menjadi hak penggugat.