PERBANDINGAN UU No. 5 Tahun 1986 dengan SEMA No. 2 Tahun 1991 MENGENAI UPAYA ADMINISTRATIF

PERBANDINGAN UU No. 5 Tahun 1986 dengan SEMA No. 2 Tahun 1991 MENGENAI UPAYA ADMINISTRATIF



PERBANDINGAN UU No. 5 Tahun 1986 dengan SEMA No. 2 Tahun 1991

MENGENAI UPAYA ADMINISTRATIF

Dalam BAB III Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa :

(1) Dalam suatu badan atau pejabat tata usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengeta tata usaha Negara tertentu, maka sengketa tata usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.

(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administrative yang bersangkutan telah digunakan.

Dengan demikian, upaya administratif itu merupakan prosedur yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa TUN yang dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri (bukan oleh peradilan yang bebas) yang terdiri dari prosedur keberatan dan prosedur banding administratif.

Dalam penjelasan Pasal 48 disebutkan bahwa upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu KTUN. prosedur itu dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri. Dalam hal penyelesaian itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, maka prosedur itu dinamakan banding administratif. dalam hal penyelesaian KTUN tersebut harus dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat tata usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut dinamakan keberatan.

Sedangkan di dalam romawi IV tentang Upaya Administratif (Pasal 48 beserta penjelasannya) angka 2 huruf a dan b dari Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 1991 tentang Petu njuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyebutkan bahwa :

a. Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya administratif berupa pengajuan surat keberatan, maka gugatan terhadap KTUN yang bersangkutan diajukan kepada PTUN.

b. Apabila peraturan dasarnya menentukan adanya upaya administratif berupa pengajuan surat keberatan dan atau mewajibkan pengajuan surat banding administrative, maka gugatan terhadap KTUN yang telah diputus dalam tingkat banding administratif diajukan langsung kepada PTTUN dalam tingkat pertama yang berwenang.

Dengan demikian, ketentuan Pasal 51 ayat (3) UU No. 5 tahun 1986 yang menyebutkan bahwa : “PTTUN bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48”. yaitu apabila sengketa itu telah diputus dalam tingkat banding administratif, sedangkan apabila upaya administrative yang tersedia hanya berupa keberatan, maka gugatan KTUN yang diputus dalam tingkat upaya keberatan tersebut tidak dapat diajukan lansung kepada PTTUN, tetapi kepada PTUN.

Perbedaan penting antara upaya administratif dan PTUN adalah bahwa PTUN hanyalah memeriksa dan menilai dari segi hukumnya saja (rechtmatigheid). sedangkan penilaian dari segi kebijaksanaan bukan menjadi wewenang PTUN (doelmatigheid). Pemeriksaan melalui upaya administratif, badan TUN selain berwenang menilai segi hukumnya, juga berwenang menilai segi kebijaksanaannya.

Dengan demikian penyelesaian sengketa melalui upaya administratif menjadi lebih lengkap (vol beroep). Tetapi, penilaian secara lengkap tersebut tidak termasuk pada prosedur banding. Pada prosedur banding, badan TUN hanya melakukan penilaian dari segi huumnya saja.

KEPUTUSAN

KEPUTUSAN



Keputusan Menurut Undang-undang No.5 Tahun 1986 yakni :

Keputusan tata Usaha Negara, adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan (negara) atau oleh pejabat tata usaha Negara (pegawai Negara yang menjabat fungsi Negara tertentu) yang berisi suatu tindakan hukum (rechts handeling) dari pejabat tata usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat kongkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum (menimbulkan hak dan kewajiban kepada orang lain bersifat individual) bagi seseorang atau bagi suatu badan hukum perdata tertentu.

Istilah “penetapan tertulis” terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata Usaha Negara. keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut Udang-undang itu apabila sudah jelas :

a) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang akan mengeluarkannya;

b) maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu;

c) kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya.

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau pejabat di pusat dan di daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif.

Tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban pada orang lain.

Bersifat konkret artinya obyek yang diputuskan adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya keputusan mengenai rumah si A, izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai pegawai negeri.

Bersifat individual, Keputusan tata Usaha Negara itu tidak ditujukan kepada umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan.

Umpamanya, keputusan tentang pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut.

Bersifat final, artinya sudah definitive dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain yang belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan

Umpamanya, keputusan pengangkatan seseorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan A dministrasi Kepegawaian Negara.

Keputusan Menurut Para Sarjana

a. Menurut E. Utrecht, Beschikking adalah perbuatan hukum publik bersegi satu (yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa).

b. Menurut W.F. Prins dan R. KosimAdisapoetra, Beschikking adalah suatu tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan yang dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan wewenang yang luar biasa.

c. Menurut H.D van Wijk/Willem Konijnenbelt, ketetapan merupakan keputusan pemerintahan untuk hal yang bersifat konkret dan individual (tidak ditujukan untuk umum) dan sejak dulu telah dijadikan instrumen yuridis pemerintahan yang utama.

d. Menurut P. de Haan dan kawan-kawan, ketetapan administrasi merupakan bagian dari tindakan pemerintahan yang paling banyak muncul dan paling banyak dipelajari.

e. Menurut C.W. van der Pot, ketetapan adalah pernyataan kehendak dari organ pemerintahan untuk melaksanakan hal khusus, ditujukan untuk menciptakan hubungan hukum baru, mengubah atau menghapus hubhungan hukum yang ada.

f. Menurut H.J. Romeijn, ketetapan adalah suatu pernayataan kehendak yang disebabkan oleh surat permohonan yang diajukan, tau setidak-tidaknya keinginan atau keperluan yang dinyatakan.

g. Menurut C.J.N. Versteden, secara sederhana, definisi ketetapan dapat diberikan : suatu tindakan hukum publik sepihak dari organ pemerintahan yang ditujukan pada peristiwa konkret.

h. Menurut J.B.J.M. ten Berge, ketetapan adalah keputusan hukum public yang bersifat konkret dan individual : keputusan itu berasal dari organ pemerintahan, yang didasarkan pada kewenangan hukum publik. Dibuat untuk satu atau lebih individu atau berkenaan dengan satu atau lebih perkara atau keadaan. Keputusan itu memberikan suatu kewajiban pada seseorang atau organisasi, memberikan kewenagan hak pada mereka.

i. Menurut R.J.H.M Huisman, secara umum ketetapan dapat diartikan ; keputusan yang berasal dari organ pemerintahan yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum.

j. Menurut Sjachran Basah, Beschikking adalah keputusan tertulis dari administrasi Negara yang mempunyai akibat hukum.

Perbedaan Antara Keputusan dengan Undang-Undang.

No.

Perbedaan

Keputusan

Undang-Undang

1.

Dari segi kewenangan mengeluarkan.

Kewenangan berada pada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Kewenangan berada pada pembentuk undang-undang (legislative)

2.

Dari segi bentuk.

Tertulis-tidak tertulis.

Tertulis.

3.

Dari segi substansi.

Pelaksanaan dari undang-undang dan diskresi.

Pengaturan umum.

4.

Dari segi sifat norma.

Individual-konkret-final

Umum-abstrak.

KEWENANGAN PERWIRA PENYERAH PERKARA (PAPERA), ATASAN YANG BERHAK MENGHUKUM (ANKUM) DAN ODITUR

KEWENANGAN PERWIRA PENYERAH PERKARA (PAPERA), ATASAN YANG BERHAK MENGHUKUM (ANKUM) DAN ODITUR



KEWENANGAN PERWIRA PENYERAH PERKARA (PAPERA), ATASAN YANG BERHAK MENGHUKUM (ANKUM) DAN ODITUR

a. Kewenangan PAPERA

Di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Pasal 122, menyebutkan bahwa :

(1) Perwira Penyerah Perkara adalah:

a. Panglima;

b. Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(2) Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menunjuk komandan/kepala kesatuan bawahan masing-masing paling rendah setingkat dengan Komandan Komando Resor Militer, untuk bertindak selaku Perwira Penyerah Perkara.

Sedangkan, kewenangan PAPERA tercantum dalam Pasal 123 yang menyebutkan bahwa :

(1) Perwira Penyerah Perkara mempunyai wewenang:

a. memerintahkan Penyidik untuk melakukan penyidikan;

b. menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan;

c. memerintahkan dilakukannya upaya paksa;

d. memperpanjang penahanan;

e. menerima atau meminta pendapat hukum dari Oditur tentang penyelesaian suatu perkara;

f. menyerahkan perkara kepada Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili;

g. menentukan perkara untuk diselesaikan menurut Hukum Disiplin Prajurit; dan

h. menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer.

(2) Kewenangan penutupan perkara demi kepentingan umum/militer hanya ada pada Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf a.

(3) Panglima selaku Perwira Penyerah Perkara tertinggi melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan wewenang penyerahan perkara oleh Perwira Penyerah Perkara lainnya.

b. Kewenangan Oditur

Di dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 31 Tahun 1997 menyebutkan bahwa : “Oditurat Militer, Oditurat Militer Tinggi, Oditurat Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Oditurat Militer Pertempuran yang selanjutnya disebut Oditurat adalah badan di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang melakukan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan berdasarkan pelimpahan dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia”. Selanjutnya, Pasal 47 menyebutkan bahwa :

(1) Oditurat melaksanakan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

(2) Oditurat adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan.

Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 angka 2 maka Oditurat diklasifikasikan menurut Pasal 49 menjadi :

a. Oditurat Militer;

b. Oditurat Militer Tinggi;

c. Oditurat Jenderal; dan

d. Oditurat Militer Pertempuran.

Oditurat yang tercantum dalam Pasal tersebut, yang masing-masing memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut :

Kewenangan Oditurat Militer diatur dalam Pasal 64, yang menyebutkan bahwa :

(1) Oditurat Militer mempunyai tugas dan wewenang:

a. melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang Terdakwanya:

1) Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah;

2) mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya "termasuk tingkat kepangkatan" Kapten ke bawah;

3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer;

b. melaksanakan penetapan Hakim atau putusan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum;

c. melakukan pemeriksaan tambahan.

(2) Selain mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditurat Militer dapat melakukan penyidikan.

Kewenangan Oditurat Militer tinggi diatur dalam Pasal 65, yang menyebutkan bahwa:

(1) Oditurat Militer Tinggi mempunyai tugas dan wewenang :

a. melakukan penuntutan dalam perkara pidana yang Terdakwanya adalah:

1) Prajurit atau salah satu Prajuritnya berpangkat Mayor ke atas;

2) mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya atau salah satu Terdakwanya "termasuk tingkat kepangkatan" Mayor ke atas; dan 3) mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi;

b. melaksanakan penetapan Hakim atau putusan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum;

c. melakukan pemeriksaan tambahan.

(2) Selain mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditurat Militer Tinggi dapat melakukan penyidikan.

Kewenangan Oditurat Jenderal diatur dalam Pasal 66, yang menyebutkan bahwa :

Oditurat Jenderal mempunyai tugas dan wewenang:

a. membina, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Oditurat;

b. menyelenggarakan pengkajian masalah kejahatan guna kepentingan penegakan serta kebijaksanaan pemidanaan; dan

c. dalam rangka penyelesaian dan pelaksanaan penuntutan perkara tindak pidana tertentu yang acaranya diatur secara khusus, mengadakan koordinasi dengan Kejaksaan Agung, Polisi Militer, dan badan penegak hukum lain.

Kewenangan Oditurat Militer Pertempuran diatur dalam Pasal 68, yang menyebutkan bahwa :

(1) Oditurat Militer Pertempuran mempunyai tugas dan wewenang:

a. melakukan penuntutan dalam perkara pidana;

b. melaksanakan penetapan Hakim atau putusan Pengadilan Militer Pertempuran.

(2) Selain mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditurat Militer Pertempuran dapat melakukan penyidikan sejak awal tanpa perintah Oditur Jenderal dalam hal ada perintah langsung dari Panglima atau Komandan Komando Operasi Pertempuran.

c. Kewenangan ANKUM

Kewenangan mengenai Atasan Yang Berhak Menghukum diatur dalam Pasal 74 UU No. 31 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa :

Atasan yang Berhak Menghukum mempunyai wewenang:

a. melakukan penyidikan terhadap Prajurit bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya yang pelaksanaannya dilakukan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c;

b. menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c;

c. menerima berkas perkara hasil penyidikan dari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c; dan

d. melakukan penahanan terhadap Tersangka anggota bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya.