CONTOH NASKAH AKADEMIK

CONTOH NASKAH AKADEMIK


NASKAH AKADEMIK UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DESA ADAT



A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari beberapa pulau yang memiliki beraneka ragam budaya, seni, suku, dan adat istiadat. Dalam kaitan ini di setiap Propinsi atau Kabupaten/Kota memiliki suatu bentuk penyelenggaran pemerintahan yang berbeda-beda yang disebut desa adat. Desa adat tersebut memiliki ruang lingkup dan batas-batas wilayah sendiri yang berwenang mengatur dan mengurus sendiri kepentingan-kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul atau adat istiadat masyarakat setempat. Seperti diketahui Indonesia memiliki dua sumber hukum yakni sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum tidak tertulis atau hukum adat itu biasanya dijadikan pedoman dalam rangka menjalankan pemerintahan desa adat tersebut.

Desa adat itu sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B, tapi hanya sebatas pengakuan sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Disamping itu Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pun telah mengaturnya, tetapi belum adanya suatu kejelasan yan pasti dan tegas tentang kedudukan Pemerintahan Desa Adat di dalam sistem Pemerintahan Nasional.

Berdasarkan hal tersebut diatas, Maka perlu diadakan suatu pengaturan yang jelas tentang pemerintahan desa adat yang mencerminkan norma-norma dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat adat sebagaimana diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Tujuan dan Kegunaan Yang Ingin Dicapai

· Mengatur kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan perkembangan masyarakat.

· Memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional yang dimiliki masyarakat hukum adat.

· Memberikan jaminan dan kepastian hukum terhadap keberlangsungan masyarakat hukum adat.

· Mengatur penyelenggaraan tertiba administrasi masyarakat hukum adat.

3. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan dalam naskah akademik ini adalah Conceptual Approach, Yaitu pendekatan dengan cara menelusuri, mengkaji, menelaah, serta meneliti konsep-konsep atau teori-teori hukum yang berkaitan dengan desa adat. Historical Approach, yaitu dengan cara menelusuri sejarah-sejarah tentang pengaturan Desa Adat, melihat belum adanya pengaturan yang lebih jelas mengenai pemerintahan desa adat. Dan Statue Approach, yaitu pendekatan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengaturan tentang desa adat.

4. Materi Muatan

· Pengertian mengenai Desa Adat

· Ruang Lingkup Desa Adat

· Asas, Fungsi, dan Tujuan Pemerintahan Desa Adat

· Lembaga-lembaga Desa Adat

· Hak dan Kewenangan Pemerintahan Desa Adat

· Kedudukan Pemerintahan Desa Adat dalam Sistem Pemerintahan Nasional

5. Inventarisasi Perundang-undangan

1. Pasal 18, Pasal 18 A, Pasal 18 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembar Negara Nomor 4389) ;

3. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) ;

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) ;

5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438).


RANCANGAN UNDANG-UNDANG

NOMOR ......... TAHUN ........

TENTANG

PEMERINTAHAN DESA ADAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa pemerintahan desa adat menurut Undang-undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 dilaksanakan oleh kesatuan masyarakat hukum yang berada di wilayah desa adat guna mengatur kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai dengan perkembangan masyarakat;

b. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa adat sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah dirubah sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubaha Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, perlu dilakukan suatu pengaturan secara khusus tentang pemerintahan desa adat;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan b perlu membentuk suatu peraturan yang mengatur secara khusus mengenai pemerintahan desa adat.

Mengingat : 1. Pasal 18, Pasal 18 A, Pasal 18 B, Pasal 20,Pasal 22 A Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembar Negara Nomor 4389) ;

3. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) ;

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) ;

5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438).

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DESA ADAT

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :

1. Desa adalah kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri.

2. Desa adat adalah kesatuan-kesatuan masyarakat hokum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul atau adat-istiadat setempat.

3. Pemerintah Pusat adalah selanjutnya disebut sebagai pemerintahan, adalah Presiden Rapublik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah oleh pemerintah daerah dan DPRD menururt asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dan sistem dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Pemerintahan Desa Adat adalah penyelenggaran urusan pemerintahan desa adat oleh perangkat desa adat sesuai kebiasaan dan/atau adat istiadat desa adat setempat dalam mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul atau adat-istiadat setempat, menurut asas otonomi yang seluas-luasnya.

6. Otonomi Desa adat adalah hak,wewenang,dan kewajjiban desa adat otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan desa adat dan kepentingan masyarakat adat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

7. Lembaga Desa Adat adalah badan (organisasi) desa adat yang terdiri atas interaksi sosial berstruktur dalam suatu kerangka nilai yang relevan.

8. Perangkat Desa Adat adalah alat kelengkapan pemerintahan desa adat yang terdiri atas sekretariat desa adat dan kepala desa adat.

9. Sekretariat Desa Adat adalah bagian organisasi yang menangani pekerjaan dan urusan yang menjadi tugas sekretaris.

10. Kepala Desa Adat adalah orang yang mengepalai suatu desa adat.

BAB II

RUANG LINGKUP DESA ADAT

Pasal 2

Desa adat mencakupi segala penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan adat istiadat/kebiasaan, administrasi dan keuangan desa adat, sanksi-sanksi adat berdasarkan permufakatan tiap-tiap adat istiadat yang berlaku di wilayah kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(1) Dalam hal terjadi perbedaan adat istiadat antara masyarakat hukum adat dan/atau adat istiadat yang berlaku di tempat masyarakat hukum adat itu berada, dibebaskan dari kewajiban untuk tidak turut serta dalam menjalankan adat istiadat setempat dengan syarat tetap menghormati adat istiadat yang berlaku.

(2) Setiap orang dilarang memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan, diskriminasi atau menunjukkan kebencian atau rasa benci terhadap adat istiadat masyarakat hukum adat lainnya.

BAB III

ASAS, FUNGSI, TUJUAN PEMERINTAHAN DESA ADAT

Pasal 3

Penyelenggaraan pemerintahan desa adat dilaksanakan berdasarkan asas :

(1) Rekognisi;

(2) Desentralisasi ; dan

(3) Delegasi.

Pasal 4

Penyelenggaraan pemerintahan desa adat berfungsi untuk melindungi hak-hak dan kewajiban-kewajiban adat istiadat bagi masyarakat hokum adat yang berada di wilayah desa adat.

Pasal 5

Penyelenggaraan pemerintahan desa adat bertujuan untuk menciptakan dan membangun masyarakat desa adat sesuai dengan kemandirian dan pribadi adat yang berdasarkan cita-cita masyarakat adat setempat.

BAB IV

LEMBAGA-LEMBAGA DESA ADAT

Pasal 6

Lembaga-lembaga yang termasuk dalam pemerintahan desa adat antara lain :

a. lembaga adat ;

b. lembaga administrasi dan keuangan desa adat ; dan

c. lembaga keamanan desa adat.

Pasal 7

Lembaga adat merupakan suatu lembaga yang menyelenggarakan dan/atau bertanggungjawab terhadapat kegiatan atau serangkaian kegiatan adat istiadat daerah setempat.

Pasal 8

Lembaga administrasi dan keuangan adat merupakan suatu lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengatur perihal kegiatan administrasi dan pengolahan keuangan pemerintahan desa adat.

Pasal 9

Lembaga keamanan desa adat merupakan suatu lembaga yang diberi tugas menjaga keamanan dan ketertiban di dalam lingkungan desa adat.

(1) Setiap orang yang berada dan menjadi bagian desa adat harus tunduk dan patuh terhadap kaidah-kaidah yang berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat setempat.

(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku di lingkungan desa adatnya maka akan dikenakan sanksi adat.

(3) Sanksi adat dapat berupa sanksi pidana,sanksi moral,sanksi administrasi, dan sebagainya.

BAB V

HAK DAN KEWENANGAN PEMERINTAHAN DESA ADAT

Pasal 10

Pemerintahan desa adat memiliki hak-hak untuk mengatur, mengurus, menjaga, dan menyelenggarakan segala urusan rumah tangganya sendiri seluas-luasnya sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum nasional.

Pasal 11

(1) penyelenggaraan pemerintahan desa adat dilakukan oleh Kepala Desa Adat dibantu dengan Perangkat Desa Adat.

(2) Perangkat Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari Sekretaris Desa Adat dan Perangkat Desa Adat lainnya.

(3) Kepala Desa Adat dan Perangkat Desa Adat dipilih oleh masyarakat hukum adat sesuai dengan tata cara adat istiadat setempat.

Pasal 12

Kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Desa Adat mencakup :

a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa adat;

b. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa adat;

c. mengatur dan mengurus, menyelenggarakan kegiatan dan/atau rangkaian kegiatan adat istiadat setempat.

Pasal 13

Dalam hal terjadi sengketa atau permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam masyarakat hukum adat pemerintah desa adat berhak untuk menyelidiki, memproses, dan mengadili sengketa tersebut selama belum diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional.

BAB VI

KEDUDUKAN PEMERINTAHAN DESA ADAT DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NASIONAL

Pasal 14

Pemerintahan Desa Adat berkedudukan sebagai komunitas yang mengatur dirinya sendiri berdasarkan asal usul dan hak-hak tradisionalnya, sehingga kewenangan yang dimiliki oleh Desa Adat Adalah Kewenangan Asli berdasarkan asas Rekognisi.

BAB VII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 15

Dalam hal terjadi penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh Kepala Desa Adat dan Perangkat Desa Adat dalam menjalankan hak dan kewenangan maka dapat diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000.,00 (dua puluh juta rupiah).

BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 16

Pada saat undang-undang ini berlaku, segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

Hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang ini, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya, diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah.

Dengan berlakunya Undang-Undang ini, segala ketentuan yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal …… Juli 2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal …… Juli 2010

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 20109 NOMOR………..

PANCASILA SEBAGAI SUATU SISTEM FILSAFAT

PANCASILA SEBAGAI SUATU SISTEM FILSAFAT



A. Pengertian Pancasila Sebagai Suatu Sistem

Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu sistem filsafat. Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila Pancasila setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri tujuan tertentu, yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Sila-sila Pancasila itu bersama-sama merupakan suatu kesatuan dan keutuhan, setiap sila merupakan suatu unsur (bagian yang mutlak) dari kesatuan Pancasila.

Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organik. Antara sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi. Sila yang satu senantiasa dikualifikasi oleh sila-sila lainnya. Oleh karena itu Pancasila sebagai suatu system filsafat akan memberikan cirri-ciri yang khas, yang khusus yang tidak terdapat pada system filsafat lainnya.

B. Kesatuan Sila-Sila Pancasila

Susunan Pancasila adalah hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidal. Dalam susunan hierarkhis dan piramidal ini, maka Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, yang membangun, memelihara dan mengembangkan persatuan Indonesia, yang berkerakyatan dan berkeadilan social demikian selanjutnya, sehingga tiap-tiap sila didalamnya mengandung sila-sila lainnya.

Secara ontologism kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu system bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal adalah sebagai berikut : bahwa hakikat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai akibat adanya Tuhan (Sila 1). Adapun manusia adalah sebagai subjek pendukung pokok Negara, karena Negara adalah lembaga kemanusiaan, Negara adalah sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah manusia (Sila 2). Maka Negara adalah sebagai akibat adanya manusia yang bersatu (Sila 3). Sehingga terbentuklah persekutuan hidup bersama yang disebut rakyat. Maka rakyat pada hakikatnya merupakan unsur Negara disamping wilayah dan pemerintah. Rakyat adalah sebagai totalitas individu-individu dalam Negara yang bersatu (Sila 4). Keadilan pada hakikatnya merupakan tujuan suatu keadilan dalam hidup bersama atau dengan lain perkataan keadilan social (Sila 5) pada hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut Negara.

C. Kesatuan Sila-Sila Pancasila sebagai Suatu Sistem Filsafat

Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja namun juga meliputi dasar ontologis, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari sila Pancasila.

Sebagaimana dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila pancasila adalah besifat hierarkhis dan mempunyai bentuk pyramidal, digunakan untuk menggambarkan hubungan hierarkhis sila-sila dalam Pancasila dalam urut-urutan luas (kwantitas) dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila itu dalam arti formal logis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarkhis dalam kwantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologism, dasar epistemologis serta dasar aksiologis dar sila-sila Pancasila.

Secara filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan system filsafat memiliki dasar ontologism, dasar epistemologis dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda dengan system filsafat yang lainnya misalnya materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme dan lain paham filsafat di dunia.

D. Dasar Ontologis Sila-Sila Pancasila

Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat tidak hanya kesatuan yang menyangkut sila-silanya saja melainkan juga meliputi hakikat dasar dari sila-sila Pancasila atau secara filosofis merupakan dasar ontologism sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan memiliki suatu kesatuan dasar ontologis.

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai sila-sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab didasari dan dijiwai oleh oleh sila ketuhanan yang maha esa serta mendasari dan menjiwai persatuan Indonesia, sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta sila keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sila ketiga, persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila ketuhanan yang maha esa dan sila kemanusiaan yang adil dan beradab serta mendasari dan menjiwai sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sila keempat, kerakyatan yan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan didasari dan dijiwai oleh sila ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan dan persatuan.

Sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia didasari dan dijiwai oleh keempat sila lainnya yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan dan kerakyatan.

Ontologi Pancasila mengandung azas dan nilai antara lain:

a. Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber eksistensi kesemestaan. Ontologi ketuhanan bersifat religius, supranatural, transendental dan suprarasional;

b. Ada – kesemestaan, alam semesta (makrokosmos) sebagai ada tak terbatas, dengan wujud dan hukum alam, sumber daya alam yang merupakan prwahana dan sumber kehidupan semua makhluk: bumi, matahari, zat asam, air, tanah subur, pertambangan, dan sebagainya;

c. Eksistensi subyek/ pribadi manusia: individual, suku, nasional, umat manusia (universal). Manusia adalah subyek unik dan mandiri baik personal maupun nasional, merdeka dan berdaulat. Subyek pribadi mengemban identitas unik: menghayati hak dan kewajiban dalam kebersamaan dan kesemestaan (sosial-horisontal dengan alam dan sesama manusia), sekaligus secara sosial-vertikal universal dengan Tuhan;

d. Eksistensi tata budaya, sebagai perwujudan martabat dan kepribadian manusia yang unggul. Baik kebudayaan nasional maupun universal adalah perwujudan martabat dan kepribadian manusia: sistem nilai, sistem kelembagaan hidup seperti keluarga, masyarakat, organisasi, negara;

e. Eksistensi bangsa-negara yang berwujud sistem nasional, sistem kenegaraan yang merdeka dan berdaulat, yang menampilkan martabat, kepribadian dan kewibawaan nasional.

E. Dasar Epistemologis Sila-Sila Pancasila

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan Negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan.

Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila. Oleh karena tiu dasar epistemologis Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Kalau manusia merupakan basis ontologism dari Pancasila maka dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan epistemologi, yaitu bangunan epistemologi yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia.

Pancasila sebagai suatu objek pengetahuan pada hakikatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetauan Pancasila. Tentang sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri, bukan berasal dari bangsa lain, bukan hanya merupakan perenungan serta pemikiran seseorang atau bebrapa orang saja namun dirumuskan oleh wakil-wakil bangssa Indonesia dalam mendirikan Negara. Dengan lain perkataan bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai kausa materialis Pancasila.

Tentang susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti sila-sila Pancasila.

Sebagai suatu paham epistemologi maka Pancasila mendasarkan pandanganya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religious dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup.

Epistemologi Pancasila secara mendasar meliputi nilai-nilai dan azas-azas:

a. Mahasumber ialah Tuhan, yang menciptakan kepribadian manusia dengan martabat dan potensi unik yang tinggi, menghayati kesemestaan, nilai agama dan ketuhanan. Kepribadian manusia sebagai subyek diberkati dengan martabat luhur: pancaindra, akal, rasa, karsa, cipta, karya dan budi nurani.

b. Sumber pengetahuan dibedakan dibedakan secara kualitatif, antara:

· Sumber primer, yang tertinggi dan terluas, orisinal: lingkungan alam, semesta, sosio-budaya, sistem kenegaraan dan dengan dinamikanya;

· Sumber sekunder: bidang-bidang ilmu yang sudah ada/ berkembang, kepustakaan, dokumentasi;

· Sumber tersier: cendekiawan, ilmuwan, ahli, narasumber, guru.

c) Wujud dan tingkatan pengetahuan dibedakan secara hierarkis:

· Pengetahuan indrawi;

· Pengetahuan ilmiah;

· Pengetahuan filosofis;

· Pengetahuan religius.

d) Pengetahuan manusia relatif mencakup keempat wujud tingkatan itu. Ilmu adalah perbendaharaan dan prestasi individual maupun sebagai karya dan warisan budaya umat manusia merupakan kualitas martabat kepribadian manusia. Perwujudannya adalah pemanfaatan ilmu guna kesejahteraan manusia, martabat luhur dan kebajikan para cendekiawan (kreatif, sabar, tekun, rendah hati, bijaksana).

e) Pengetahuan menyeluruh ini adalah perwujudan kesadaran filosofis-religius, yang menentukan derajat kepribadian manusia yang luhur. Berilmu/ berpengetahuan berarti mengakui ketidaktahuan dan keterbatasan manusia dalam menjangkau dunia suprarasional dan supranatural. Tahu secara ‘melampaui tapal batas’ ilmiah dan filosofis itu justru menghadirkan keyakinan religius yang dianut seutuh kepribadian: mengakui keterbatasan pengetahuan ilmiah-rasional adalah kesadaran rohaniah tertinggi yang membahagiakan.

F. Dasar Aksiologis Pancasila

Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga memiliki satu kesatuan dasar aksiologisnya, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Kalangan materialis memandang bahwa hakikat nilai yang tertinggi adalah nilai materialis, kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan.

Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa saja yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia. Max Scheler misalnya mengemukakan bahwa nilai pada hakikatnya berjenjang, jadi tidak sama tingginya dan tidak sama luhurnya. Nilai-nilai tiu dalam kenyataannya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah bilamana dibandingkan satu dengan yang lainnya. Sejalan dengan pandangan tersebut, Notonagoro mrinci nilai disamping bertingkat juga berdasarkan jenisnya ada yang bersifat material dan nonmaterial. Dalam hubungan ini manusia memiliki orientasi nilai yang berbeda tergantung pada pandangan hidup dan filsafat hidup masing-masing. Ada sekelompok orang mendasarkan pada orientasi nilai material, namun ada pula yang sebaliknya yaitu berorientasi pada nilai nonmaterial. Bahkan sesuatu yang nonmatertial itu mengandung nilai yang bersifat mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material relative lebih mudah diukur yaitu menggunakan indera maupun alat pengukur lainnya seperti berat, panjang, lebar, luas dan sebagainya. Dalam menilai hal-hal yang bersifat rohaniyah yang menjadi alat ukur adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indera manusia yaitu cipta, rasa, karsa serta keyakinan manusia.

Menurut Notonagoro, bahwa nilai-nilai Pancasila termasuk nilai kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai kerohanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis yaitu nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematik-hierarkhis, dimana sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagi basisnya sampai dengan sila keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuannya.

Pokok-pokok aksiologi itu dapat disarikan sebagai berikut:

a. Tuhan yang mahaesa sebagai mahasumber nilai, pencipta alam semesta dan segala isi beserta antarhubungannya, termasuk hukum alam. Nilai dan hukum moral mengikat manusia secara psikologis-spiritual: akal dan budi nurani, obyektif mutlak menurut ruang dan waktu secara universal. Hukum alam dan hukum moral merupakan pengendalian semesta dan kemanusiaan yang menjamin multieksistensi demi keharmonisan dan kelestarian hidup.

b. Subyek manusia dapat membedakan hakikat mahasumber dan sumber nilai dalam perwujudan Tuhan yang mahaesa, pencipta alam semesta, asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi, secara individual maupun sosial).

c. Nilai-nilai dalam kesadaran manusia dan dalam realitas alam semesta yang meliputi: Tuhan yang mahaesa dengan perwujudan nilai agama yang diwahyukan-Nya, alam semesta dengan berbagai unsur yang menjamin kehidupan setiap makhluk dalam antarhubungan yang harmonis, subyek manusia yang bernilai bagi dirinya sendiri (kesehatan, kebahagiaan, etc.) beserta aneka kewajibannya. Cinta kepada keluarga dan sesama adalah kebahagiaan sosial dan psikologis yang tak ternilai. Demikian pula dengan ilmu, pengetahuan, sosio-budaya umat manusia yang membentuk sistem nilai dalam peradaban manusia menurut tempat dan zamannya.

d. Manusia dengan potensi martabatnya menduduki fungsi ganda dalam hubungan dengan berbagai nilai: manusia sebagai pengamal nilai atau ‘konsumen’ nilai yang bertanggung jawab atas norma-norma penggunaannya dalam kehidupan bersama sesamanya, manusia sebagai pencipta nilai dengan karya dan prestasi individual maupun sosial (ia adalah subyek budaya). Dalam keterbatasannya, manusia adalah prokreator bersama Allah.

e. Martabat kepribadian manusia secara potensial-integritas bertumbuhkembang dari hakikat manusia sebagai makhluk individu-sosial-moral: berhikmat kebijaksanaan, tulus dan rendah hati, cinta keadilan dan kebenaran, karya dan darma bakti, amal kebajikan bagi sesama.

f. Manusia dengan potensi martabatnya yang luhur dianugerahi akal budi dan nurani sehingga memiliki kemampuan untuk beriman kepada Tuhan yang mahaesa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Tuhan dan nilai agama secara filosofis bersifat metafisik, supernatural dan supranatural. Maka poetensi martabat manusia yang luhur itu bersifat apriori: diciptakan Tuhan dengan identitas martabat yang unik: secara sadar mencintai keadilan dan kebenaran, kebaikan dan kebajikan. Cinta kasih adalah produk manusia – identitas utama akal budi dan nuraninya – melalui sikap dan karyanya.

g. Manusia sebagai subyek nilai memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap pendayagunaan nilai, mewariskan dan melestarikan nilai dalam kehidupan. Hakikat kebenaran ialah cinta kasih, dan hakikat ketidakbenaran adalah kebencian (dalam aneka wujudnya: dendam, permusuhan, perang, etc.).

h. Eksistensi fungsional manusia ialah subyek dan kesadarannya. Kesadaran berwujud dalam dunia indra, ilmu, filsafat (kebudayaan/ peradaban, etika dan nilai-nilai ideologis) maupun nilai-nilai supranatural.