PROSEDUR PENANGKAPAN  DALAM HUKUM ACARA PERADILAN MILITER

PROSEDUR PENANGKAPAN DALAM HUKUM ACARA PERADILAN MILITER



PENDAHULUAN


Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut berarti bahwa negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Negara Indonesia juga menjamin setiap warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat. Dengan demikian sudah sewajarnya penegakan keadilan berdasarkan hukum dilaksanakan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara negara setiap lembaga masyarakat termasuk kalangan militer.

Penegakan hukum di Indonesia sebagai wujud dari penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 4 tahun 2004 dilaksanakan di empat lingkungan Peradilan yaitu lingkungan Peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan peradilan militer sesuai kewenangan absolutnya. Dalam Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasan Kehakiman ditetapkan bahwa salah satu penyelenggara kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer, termasuk susunan serta acaranya diatur dalam undang-undang tersendiri. Eksistensi pengadilan di lingkungan peradilan Militer juga dimuat dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945 amandemen keempat yang Berbunyi kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, lingkungan Peradilan Umum dan Mahkahmah Konstitusi.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah Suatu organisasi yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan Negara untuk menegakkan kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya tentu saja ada kemungkinan penyimpangan yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia.

Bentuk penyimpangan itu antara lain pelangagaran hak asas manusia, pelanggaran hukum disiplin dan tindak pidana. Setiap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia diselesaikan di Peradilan Militer.

Dalam penerapannya Hukum Pidana Militer dipisahkan menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) seagai hukum material dan hukum acara pidana militer sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer sebagai hukum formal. Setiap perbuatan yang merupakan pelanggaran hukum dengan kategori tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI atau yang dipersamakan dengan prajurit TNI, maka berdasarkan ketentuan Hukum Pidana Militer harus diproses melalui Pengadilan Militer.

Sebagaimana halnya Hukum Pidana Umum, proses penyelesaian perkara pidana militer terbasi atas beberapa tahapan yang meliputi tahap penyidikan sebagaimana halnya Hukum Pidana Umum, proses penyelesaian perkara pidana Militer terbatasi atas beberapa tahapan yang meliputi tahap penyidikan, penuntutan, pemeriksasan di pengadilan Militer dan berakhir dengan proses eksekusi. Adanya tahapan-tahapan tersebut berkaitan pula dengan pembagian tugas dan fungsi dari berbagai institusi dan satuan penegak hukum di Lingkungan TNI yang pengaturan kewenangannya adalah meliputi sebagai berikut:

1. Komandan satuan selaku ANKUM dan PAPERA.

2. Polisi militer selaku penyidik

3. Oditur militer selaku penyidik, penuntut umum dan eksekutor.

4. Hakim militer di Pengadilan Militer yang mengadili memeriksa dan memutus perkara pidana yang dilakukan oleh TNI atau yang dipersamakan sebagai Prajurit TNI menurut undang-undang. Ditinjau dari perannya dalam fungsi penegakan Hukum Militer, Komandan selaku ANKUM adalah atasan yang oleh atau atas dasar Undang-undang Nomor 26 tahun 1997 tentang Hukum Disiplin prajurit diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada setiap Prajurit TNI yang berada di bawah wewenang komandonya apabila Prajurit TNI tersebut melakukan pelanggaran hukum disiplin. Dalam hal bentuk pelanggaran hukum

tersebut merupakan tindak pidana, maka komandan-komandan tertentu yang berkedudukan setingkat komandan korem dapat bertindak sebagai perwira penyerah perkara yang oleh Undang-undang diberi kewenangan menyerahkan perkara setelah mempertimbangkan saran pendapat dari Dinas Penasehat Hukum Militer atau KUMDAM. Saran pendapat hukum dari Dinas Penasehat Hukum Militer disampaikan kepada PAPERA berdasarkan berita acara pemeriksaan hasil penyidikan polisi militer.

Dalam hukum acara pidana militer, untuk melaksanakan tahapan penyidikan, penyidik di beri kewenangan untuk melakukan penangkapan, guna mempermudah proses penyelesaian perkara. Untuk itu, perlu diketahui proses penangkapan dalam hukum acara peradilan militer.


PEMBAHASAN

Di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 melindungi kebebasan dan kemerdekaan segala bangsa sebagaimana tercantum pada alinea pertama yang selengkapnya berbunyi : “ Bahwa kebebasan dan kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Pada hakikatnya kebebasan dan kemerdekaan itu bukanh hanya hak segala bangsa, akan tetapi hak dari setiap insane. Kemerdekaan dan kebebasan nilainya sangat tinggi dan merupakan milik dari setiap insane, maka berbagai undang-undang memberikan perlindungan secara khusus terhadap kebebasan dan kemerdekaan terutama kepada manusia.

Tujuan dari pembaharuan hukum acara pidana di Indonesia adalah untuk merubah sistem hukum acara pidana peninggalan zaman colonial Belanda (HIR) dimana dalam undang-undang tersebut kebebasan dan kemerdekaan manusia tidak banyak dilindungi. Oleh karena itu dalam rangka pembaharuan hukum sebagaimana diamanatkan oleh TAP MPR No. IV Tahun 1978, maka kita telah mengadakan perubahan secara mendasar di bidang hukum, dengan membentuk hukum baru yang mencabut hukum peninggalan zaman kolonial tersebut diatas. Dalam bidang hukum pidana telah dirintis oleh undang-undang No. 4 Tahun 20014 tentang Kekuasaan Kehakiman yang memuat suatu asas Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Didalam Undang-Undang Hukum acara Peradilan Militer yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer mengenai penangkapan diatur dalam Pasal 75 s.d. Pasal 77 sebagai berikut :

Pasal 75

(1) Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik berwenang melakukan penangkapan.

(2) Penangkapan terhadap Tersangka di luar tempat kedudukan Atasan yang Berhak Menghukum yang langsung membawahkannya dapat dilakukan oleh penyidik setempat di tempat Tersangka ditemukan, berdasarkan permintaan dari Penyidik yang menangani perkaranya.

(3) Pelaksanaan penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan surat perintah.

Pasal 76

(1) Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

(2) Terhadap Tersangka pelaku pelanggaran tidak dapat dilakukan penangkapan, kecuali dalam hal Tersangka sudah dipanggil secara sah 2 (dua) kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan tersebut tanpa alasan yang sah.

(3) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari.

Pasal 77

(1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh Penyidik atau anggota Polisi Militer atau anggota bawahan Atasan yang Berhak Menghukum yang bersangkutan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas Tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempat ia diperiksa.

(2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan Tersangka beserta barang bukti yang ada kepada Penyidik yang terdekat.

(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada keluarganya segera sesudah penangkapan dilakukan.

(4) Sesudah penangkapan dilaksanakan, Penyidik wajib segera melaporkan kepada Atasan yang Berhak Menghukum yang bersangkutan.

Menyimak bunyi pasal-pasal tersebut diatas maka wewenang penangkapan berada pada Atasan Yang Berhak Menghukum. Atasan Yang Berhak Menghukum-lah yang berwenang memerintahkan untuk mengadakan penangkapan terhadap anak buahnya. Kecuali dalam hal tertangkap tangan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 77 ayat (2) maka dapat dilakukan pihak lain lain tanpa memerlukan surat perintah penangkapan, dengan syarat bahwa setelah tersangka ditangkap segera menyerahkan tersangka kepada penyidik terdekat beserta barang buktinya. Selanjutnya penyidik yang menerima penyerahan tersangka segera pula member laporan kepada Atasan langsung tersangka untuk diproses lebih lanjut.

Pelaksanaan pengangkapan berdasarkan surat perintah dapat dilakukan oleh Atasan Yang Berhak Menghukum sendiri, atau anggota Polisi Militer atau anggota bawahan Atasan yang Berhak Menghukum yang bersangkutan atas perintah Atasan Yang Berhak Menghukum bersangkutan.

Untuk menangkap seorang tersangka, maka pelaksana penangkapan harus memperlihatkan surat perintah penangkapan dimana dalam surat perintah penangkapan itu mencantumkan identitas Tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempat ia diperiksa. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka tersangka harus menolak petugas yang akan menangkapnya. Suatu kejahatan baru dapat dilakukan penangkapan dimana kejahatan yang dilakukan tersangka itu mempunyai/terdapat bukti-bukti permulaan yang cukup. Adapun yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup tersebut maka penjelasan Pasal 76 ayat (1) menyatakan sebagai berikut :

“Yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" adalah bukti permulaan yang sekurang-kurangnya terdiri dari laporan polisi ditambah salah satu bukti lainnya yang berupa berita acara pemeriksaan Saksi, berita acara pemeriksaan di tempat kejadian perkara, laporan hasil penyidikan sebagai alasan atau syarat untuk dapat menangkap seseorang yang diduga sudah melakukan tindak pidana”.

Pasal 76 UU No. 31 Tahun 1997 ini lebih tegas memperinci tentang alat bukti permulaan yang cukup sehingga petugas mempunyai keyakinan apakah si tersangka perlu ditangkap atau tidak. Hal ini berbeda dengan Pasal 17 KUHAP yang tidak memerinci apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup, dimana hal tersebut diserahkan kepada keyakinan penyidik, apakah suatu perkara sudah mempunyai bukti permulaan yang cukup atau tidak. Oleh karena kesamaran itu, maka dalam praktek banyak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam bidang penangkapan oleh aparat yang terkait.

Dengan tidak diberikan penjelasan yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup itu dalam praktek sering terjadi perslisihan, disatu pihak penyidik menganggap tindakannya dianggap sudah memenuhi bukti permulaan yang cukup, tetapi oleh hakim pra peradilan yang memeriksa sah tidaknya penangkapan, sesuatu hal itu bukan/belum dikategorikan sebagai permulaan yang cukup untuk menduga seseorang bahwa ia pelakunya.

Dengan jelas perincian mengenai apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 76 UU No. 31 Tahun1997, maka kemungkinan salah melakukan penangkapan sangat kecil sekali kemungkinannya. Apalagi yang memerintahkan penangkapan itu adalah penyidik yang notabene adalah atasan tersangka sendiri yaitu Atasan Yang Berhak Menghukum.

Seorang atasan mempunyai tanggung jawab moral terhadap anak buahnya baik keluar maupun kedalam. Seorang atasan merupakan seorang bapak, yang harus dihormati, seorang guru yang harus di contoh suri tauladannya dan seorang komandan yang harus dituruti perintahnya.

Dengan telah terperincinya pengaturan tentang penangkapan dalam HAPMIL yang diatur dalam Pasal 76 tersebut ditanbah pula pertanggungjawaban moral atasan terhadap bawahannya, kemungkinan untuk menyalahgunakan kekuasaan di bidang penangkapan, kemungkinannya sangat kecil bahkan tidak mungkin dilakukan. Berdasar pertimbangan tersebut maka HAPMIL tidak mengatur tentang pra peradilan, dan apabila hal itu diberlakukan dikalangan mliter, maka akan mengganggu asas unity of command.


PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian pada pembahasan tersebut diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Bahwa kebebasan dan kemerdekaan adalah hak setiap insan yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, serta harus dihargai dan dihormati oleh setiap orang.

2. Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

3. Dalam Hukum Acara Peradilan Militer tidak dikenal adanya praperadilan, karena kemungkinan untuk menyalahgunakan kekuasaan di bidang penangkapan, sangat kecil bahkan tidak mungkin dilakukan karena dapat mengganggu asas unity of command.

Dalam rangka mewujudkan sistem hukum yang baik maka diperlukan suatu pembaharuan tentang pengaturan hukum yang sesuai dengan kebutuhan saat ini di dalam Hukum Acara Peradilan Militer, sehingga tidak terjadi kekaburan dan ketidakjelasan hukum di dalam Hukum Acara Peradilan Militer.


DAFTAR BACAAN

1. Nating, Imran. “Sejarah Peradilan Militer Di Indonesia”.

2. Salam, Moch. Faisal. 2002. “Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia”. Bandung : Mandar Maju.

3. Kurniawan, Taufiq. “Peran Perwira Penyerah Perkara Dalam Tindak Pidana Militer”.

4. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

6. Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.

7. Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.



Keputusan Pemerintah

Keputusan Pemerintah




Konsep-Konsep Hukum yang Berkaitan dengan Arti Penting Keputusan Pemerintah.

Keputusan Tata Usaha Negara sebagai suatu bentuk norma konkrit telah menempati posisi hukum yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal itu disebabkan : (1 ). Karakter penyelenggaraan pemerintaan lebih terfokus pada pelaksanaan tugas-tugas konkrit, dari pada penjabaran suatu undang-undang, yang lazimnya telah ditentukan secara ketat oleh pembentuk undang-undang; (2). Keputusan tata usaha Negara bersifat lebih praktis dan luwes ditinjau dari segi mekanisme pembuatannya, pelaksanaannya, dan peninjauan kembali/pembatalannya secara internal pemerintahan; dan (3). Ditinjau dari aspek pembuatannya, wewenang pembuatan suatu keputusan tata usaha Negara berada pada kewenangan pemerintahan (bestuursbevoegdheid) dan kewenangan diskresi pemerintahan (vrijebevoegdheid).

Dalam memahami arti penting keputusan pemerintah, perlu terlebih dahulu diketahui mengenai struktur norma dalam hukum administrasi Negara. Berkenaan dengan ini, H. D van Wijk/Willem Konijnenbelt mengatakan sebagai berikut : “Hukum material mengatur perbuatan manusia. Peraturan, norma, di dalam hukum administrasi negara memiliki struktur yang berbeda dibandingkan dengan struktur norma dalam hukum perdata dan pidana. Dalam hukum perdata atau pidana, kita menemukan secara langsung norma mengenai (apa yang diatur dalam hukum tertulis) dalam undang-undang. Dalam hukum administrasi negara struktur norma ditemukan pada berbagai tempat dan dalam dua atau lebih tingkatan, disana kita harus menemukan norma pada tingkatan-tingkatan peraturan hukum itu.

Selanjutnya, Indroharto menyebutkan sebagai berikut :

1. Keseluruhan norma hukum tata usaha negara dalam masyarakat itu memiliki struktur bertingkat dari yang sangat umum yang dikandung dalam Tap MPR, UU dan seterusnya sampai pada norma yang paling individual dan konkret yang dikandung dalam penetapan tertulis (beschikking); jadi suatu penetapan tertulis itu juga dapat mengandung suatu norma hukum seperti halnya pada suatu peraturan yang bersifat umum.

2. Pembentukan norma-norma hukum tata usaha negara dalam masyarakat itu tidak hanya dilakukan oleh pembuat undang-undang (kekuasaan legislatif) dan badan-badan peradilan saja, tetapi juga oleh aparat pemerintah dalam hal ini badan atau jabatan tata usaha negara.

Mengenai sifat norma hukum itu sendiri, Philipus M. Hadjon membuat kualifikasi sebagai berikut :

1. Norma umum abstrak misalnya undang-undang;

2. Norma individual konkrit misalnya keputusan tata usaha negara;

3. Norma umum konkrit misalnya rambu-rambu lalu lintas yang dipasang di suatu tempat tertentu (rambu itu berlaku bagi semua pemakai jalan namun hanya berlaku untuk tempat itu);

4. Norma individual abstrak misalnya izin gangguan.

Dalam rangkaian norma hukum, keputusan tata usaha negara merupakan norma penutup. Sebagai contoh dapat dikemukakan tentang izin mendirikan bangunan. Dengan adanya PERDA tentang Garis Sempadan atau PERDA Bangunan, seseorang tidak dibenarkan mendirikan bangunan tanpa adanya izin mendirikan bangunan yang pada hakekatnya adalah suatu keputusan tata usaha negara.

Keterkaitan Antar Konsep.

Jika melihat konsep-konsep tersebut diatas, dapat dikemukakan beberapa keterkaitan satu sama lainnya sebagai berikut :

1. Keputusan Pemerintah merupakan salah satu norma hukum;

2. Keputusan Pemerintah merupakan norma hukum yang paling individual dan konkrit;

3. Keputusan Pemerintah bersifat lebih praktis dan luwes ditinjau dari segi mekanisme pembuatannya, pelaksanaannya, dan peninjauan kembali/pembatalannya;

4. Pembuatan keputusan pemerintah merupakan kewenangan pemerintahan dan kewenangan diskresi pemerintahan.


Pengertian Keputusan Pemerintah Menurut Para Sarjana.

a. Menurut H.D van Wijk/Willem Konijnenbelt, ketetapan merupakan keputusan pemerintahan untuk hal yang bersifat konkret dan individual (tidak ditujukan untuk umum) dan sejak dulu telah dijadikan instrumen yuridis pemerintahan yang utama.

b. Menurut P. de Haan dan kawan-kawan, ketetapan administrasi merupakan bagian dari tindakan pemerintahan yang paling banyak muncul dan paling banyak dipelajari.

c. Menurut C.W. van der Pot, ketetapan adalah pernyataan kehendak dari organ pemerintahan untuk melaksanakan hal khusus, ditujukan untuk menciptakan hubungan hukum baru, mengubah atau menghapus hubhungan hukum yang ada.

d. Menurut H.J. Romeijn, ketetapan adalah suatu pernayataan kehendak yang disebabkan oleh surat permohonan yang diajukan, tau setidak-tidaknya keinginan atau keperluan yang dinyatakan.

e. Menurut C.J.N. Versteden, secara sederhana, definisi ketetapan dapat diberikan : suatu tindakan hukum publik sepihak dari organ pemerintahan yang ditujukan pada peristiwa konkret.

f. Menurut J.B.J.M. ten Berge, ketetapan adalah keputusan hukum public yang bersifat konkret dan individual : keputusan itu berasal dari organ pemerintahan, yang didasarkan pada kewenangan hukum publik. Dibuat untuk satu atau lebih individu atau berkenaan dengan satu atau lebih perkara atau keadaan. Keputusan itu memberikan suatu kewajiban pada seseorang atau organisasi, memberikan kewenagan hak pada mereka.

g. Menurut R.J.H.M Huisman, secara umum ketetapan dapat diartikan ; keputusan yang berasal dari organ pemerintahan yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum.

h. Menurut Sjachran Basah, Beschikking adalah keputusan tertulis dari administrasi Negara yang mempunyai akibat hukum.

i. Menurut E. Utrecht, Beschikking adalah perbuatan hukum publik bersegi satu (yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa).

j. Menurut W.F. Prins dan R. KosimAdisapoetra, Beschikking adalah suatu tindakan hukum yang bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan yang dilakukan oleh suatu badan pemerintah berdasarkan wewenang yang luar biasa.

Perbedaan Antara Acte Administratie dengan Putusan Hakim dan Undang-Undang.

No.

Perbedaan

Acte Administratie

Putusan Hakim

Undang-Undang

1.

Dari segi kewenangan mengeluarkan.

Kewenagan berada pada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Kewenagan mutlak berada pada Hakim.

Kewenangan berada pada pembentuk undang-undang (legislative)

2.

Dari segi bentuk.

Tertulis-tidak tertulis.

Tertulis dan diucapkan oleh Hakim di persidangan.

Tertulis.

3.

Dari segi substansi.

Pelaksanaan dari undang-undang dan diskresi.

Penerapan undang-undang dan keyakinan Hakim.

Pengaturan umum.

4.

Dari segi sifat norma.

Individual-konkret-final

Umum-individual-konkret-final.

Umum-abstrak.


Bentuk Tindak Pemerintahan dalam Praktek Pemerintahan.

Tindak pemerintahan pada dasarnya dapat dibagi atas dua kelompok besar yaitu tindak pemerinthan berdasarkan atas hukum (rechtshandeling) dan tindak pemerintahan berdasarkan atas fakta (feitelijkhandelingen). Rechtshandeling dibedakan atas tindakan berdasar hukum privat dan tindakan berdasar hukum publik. Tindakan hukum publik selanjutnya dibedakan atas tindakan sepihak (eenzijdig) dan tindakan berbagai pihak (meerzijdig).

Contoh tindakan pemerintahan berdasarkan hukum privat misalnya, ketika Kabupaten membeli beberapa mobil bus baru untuk kepentingan perusahaannya, Kabupaten melaksanakan perjanjian jual beli yang didasarkan pada hukum perdata.

Contoh tindakan pemerintahan berdasarkan hukum publik sepihak misalnya, pemberian IMB, SK Pengangkatan Pegawai, pemberian subsidi, perintah pengosongan rumah dan sebagainya.

Contoh tindakan pemerintahan berdasarkan hukum publik berbagai pihak misalnya, peraturan bersama antar Kabupaten atau antara Kabupaten dengan Provinsi.

Tindak Pemerintahan Berdasarkan Hukum Publik Bersegi Dua Menurut Para Sarjana.

Dikalangan para sarjana terjadi perbedaan pendapat mengenai sifat tindakan hukum ini. Sebagian menyatakan bahwa perbuatan hukum yang terjadi dalam lingkup hukum publik selalu bersifat sepihak atau hubungan hukum bersegi satu (eenzijdig). Bagi mereka tidak ada perbuatan hukum public yang bersegi dua, tidak ada perjanjian yang diatur oleh hukum publik.

Sementara itu, sebagian penulis menyatakan, ada perbuatan hukum pemerintahan bersegi dua (tweezijdig). Mereka mengakui adanya perjanjian yang diatur oleh hukum publik seperti kortverband contract atau perjanjian kerja yang berlaku selama jangka pendek.

Indroharto bahkan menyebutkan bahwa tindakan hukum tata usaha Negara itu selalu bersifat sepihak. Tindakan hukum tata usaha Negara itu dikatakan bersifat sepihak, karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum tata usaha Negara yang memiliki kekuatan hukum itu pada akhirnya tergantung kepada kehendak sepihak dari badan atau jabatan tata usaha Negara yang memiliki wewenang pemerintahan untuk berbuat demikian.

Menurut W.F. Prins, yang lebih lazim terjadi ialah pernyataan kehendak pemerintah dijadikan titik berat dalam pelaksanaannya, sedangkan pihak yang bersangkutan, yang melahirkan awal usahanya, menjadi tergeser kebelakang, sekalipun kemudian ditentukan bahwa pihak yang bersangkutan harus menyetujui penawaran yang diberikan oleh pemerintah kepadanya.

Menurut saya, tindak pemerintahan berdasarkan atas hukum publik bersegi dua sudah tidak relevan dengan perkembangan hukum dewasa ini. Karena pada hakekatnya, bahwa Negara atau pemerintahan memiliki kewenangan untuk memaksakan kehendaknya dalam rangka melakukan pelayanan terhadap publik, demi terwujudnya suatu kesejahteraan masyarakat. Jika suatu Negara atau pemerintahan melakukan sebuah perjanjian atau penawaran, tapi kemudian tidak terjadi suatu kesepakatan. Maka kegiatan pelayanan publik akan terhambat. Intinya Negara/pemerintah atau memiliki otoritas atau kewenangan tertinggi dalam menjalankan kegiatan pemerintahan. Karena secara tidak langsung masyarakat telah memberikan sebagian hak-haknya untuk diatur oleh Negara/pemerintah.