PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN MELALUI SEKTOR PERIZINAN YANG BERLANDASKAN PRINSIP PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK YANG TRANSPARAN



PENDAHULUAN

Pada saat ini peranan pariwisata sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional. Oleh karena itu sector pariwisata memiliki korelasi dan berbagai potensi yang besar dalam mendukung sektor ekonomi produktif. Dari sudut pandang perekonomian nasional sektor pariwisata dapat dipandang sebagai penyangga sektor non migas karena potensi itu bersumber pada implikasi pariwisata terhadap kehidupan manusia.

Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Pasal 1 angka 3 Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Berpangkal tolak dari pengertian tersebut di atas, maka Pariwisata merupakan suatu fenomena yang bermuara pada hubungan antara perjalanan dengan hunian yang tidak bersifat pemnanen, dengan demikian pariwisata sesungguhnya bukan merupakan tujuan bersifat menetap, akan tetapi terkait dengan pengeluaran sejumlah biaya. Jadi pariwisata pada dasarnya adalah suatu bentuk kegiatan manusia yang berpangkal tolak pada perjalanan atau dengan kata lain pariwisata tersebut merupakan "manusia" dalam "perjalanan". Oleh karena itu pariwisata merupakan suatu bentuk kegiatan manusia yang berpangkal pada perjalanan, maka dari kegiatan itu akan menimbulkan dua hal, yaitu:

1. Timbul berbagai kebutuhan fisik seperti kebutuhan akan sarana transportasi, akomodasi, makanan-minuman, hiburan dan lainlain. Sehubungan dengan itu ditinjau dari sisi wisatawan, maka pariwisata sebenarnya merupakan suatu kegiatan yang bersifat konsumtif, sedangkan dari sisi penyediaan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan wisatawan dapat bersifat produktif. Oleh sebab itu pariwisata merupakan suatu kegiatan yang mempunyai nilai ekonomis atau komersil, sehingga dapat dijadikan sumber devisa, penyediaan lapangan kerja, mendorong timbulnya bidang-bidang usaha baru. Dengan demikian sektor pariwisata dapat dijadikan wahana pemerataan pendapatan.

2. Terjadi interaksi sosial budaya antara wisatawan sebagai tamu dangan masyarakat yang kedatangan sebagai tuan rumah. dari interaksi ini masyarakat akan berkesempatan memperoleh pengalaman dan pengetahuan dari wisatawan, meskipun di sisi lain ada dampak negatifnya dari kegiatan kepariwisataan ini. Karena hal-hal itulah maka pariwisata mempunyai dampak yang luas sekali, baik dampak ekonomi, dan sosial budaya sehingga menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia.

Sementara itu jika dikaitkan dengan perkembangan perspektif birokrasi pemerintahan, akan terlihat relasi dan korelasi dari peranan pemerintah di dalam menyediakan fasilitas-fasilitas, sarana dan prasarana pariwisata bagi komplementaritas antara kebutuhan pengadaan infrastruktur pariwisata dengan obyeknya.

Pariwisata pada hakekatnya merupakan suatu fenomena lokal sehingga prospek pengembangan pariwisata akan mempengaruhi perkembangan daerah. Dari segi ekonomi ia cukup signifikan sebagai basis sumber devisa negara dan pendapatan daerah. Oleh sebab itu keterkaitan nilai ekonomi pada sektor pariwisata akan mendorong timbulnya kegiatan-kegiatan baru di sekitar wiiayah pariwisata dan akan mempengaruhi perkembangan ekonomi sektor informal masyarakat lokal.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan ± 18.110 pulau yang dimilikinya dengan garis pantai sepanjang 108.000 km. Negara Indonesia memiliki potensi alam, keanekaragaman flora dan fauna, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, serta seni dan budaya yang semuanya itu merupakan sumber daya dan modal yang besar artinya bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan. Modal tersebut harus dimanfaatkan secara optimal melalui penyelenggaraan kepariwisataan yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan data statistik, tercatat bahwa sektor pariwisata memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian nasional. Tahun 2002 target perolehan devisa sebesar US $ 5,8 M untuk 5,8 juta wisman, dan tahun 2003 US $ 6,3 M 6,9 juta wisman, sedangkan target 2004 US 7,5 M (Widibyo, 2000). Dengan potensi wisata yang dimiliki masih memungkinkan peluang peningkatan penerimaan negara dari sektor pariwisata. Meskipun demikian, sektor pariwisata sangat rentan terhadap faktor-faktor lingkungan alam, keamanan, dan aspek global lainnya.

Bertolak dari pemikiran diatas, maka diperlukan suatu kerjasama diantara para stakeholder (Pemerintah, swasta, dan masyarakat) dalam rangka mengembangkan kepariwisataan. Tentunya peran terpenting dipegang oleh Pemerintah, karena Pemerintah-lah yang mengeluarkan kebijakan-kebikan tentang pengembangan kepariwisataan. Diantaranya adalah perizinan dan penyelenggaraan pelayanan publik di sektor pariwisata.


PEMBAHASAN

Sistem Perizinan Usaha Pariwisata di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Pasal 1 angka 7, yang dimaksud dengan Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Sementara, jenis-jenis usaha pariwisata diatur dalam Pasal 14 ayat (1) yang menentukan bahwa Usaha pariwisata meliputi, antara lain:

a. daya tarik wisata;

b. kawasan pariwisata;

c. jasa transportasi wisata;

d. jasa perjalanan wisata;

e. jasa makanan dan minuman;

f. penyediaan akomodasi;

g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;

h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran;

i. jasa informasi pariwisata;

j. jasa konsultan pariwisata;

k. jasa pramuwisata;

l. wisata tirta; dan

m. spa.

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Maka pembangunan kepariwisataan diarahkan sebagai alat pemerataan pembangunan baik secara spasial, sektoral maupun structural. Pemeberdayaa daerah sebagai bagian yang paling dekat dengan masyarakat perlu diwujudkan secara nyata, baik dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan pengelolaan potensi yang berada di daerah melalui perwujudan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, maupun peningkatan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat, termasuk usaha nasional beserta lembaga perencanaan dalam pembangunan daerah.

Dalam rangka penanganan urusan dan penyeleggaraan kepariwisataan oleh daerah tersebut, tentu diperlukan adanya standard, norma, pedoman, criteria, dan prosedur selain perumusan kebijakan dari pemerintah pusat, yang menjadi acuan bagi pemerintah daerah terutama berkaitan dengan mekanisme dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, pelayanan kepada masyarakat, dan kegiatan pembangunan.

Dengan demikian manajemen pemerintah daerah harus dapat mendukung pencapaian tujuan otonomi daerah itu sendiri, adanya komposisi proporsional peranan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pengelolaan potensi pariwisata daerah yang harus jelas batas-batasnya. Sesuai tanggung jawab pemerintah pusat untuk menyiapkan penetapan standar pemberian izin oleh daerah dalam kaitan pemberian izin usaha oleh daerah diperlukan adanya suatu pedoman umum perizinan usaha pariwisata.

Tujuan pedoman umum ini adalah :

  1. Adanya kepastian dalam penanganan pemberian dan perolehan izin usaha ;
  2. Adanya transparansi/keterbukaan dalam proses pemberian izin usaha ; dan
  3. Memberikan perlindungan bagi masyarakat/konsumen terhadap jaminan kualitas produk pariwisata.

Sedangkan sasaran pedoman umum ini adalah :

  1. Bagi pemerintah daerah adalah terlaksananya pemberian izin usaha yang mudah, cepat, dan terjangkau ;
  2. Bagi usaha pariwisata adalah dapat dipenuhinya persyaratan serta prosedur yang berlaku dalam perolehan izin usaha secara transparan ; dan
  3. Bagi masyarakat adalah meningkatnya pelayanan usaha pariwisata.

Izin merupakan sarana yuridis administrative yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi Negara. Dengan izin dibentuk suatu hubungan hukum tertentu. Dalam hubungan hukum ini oleh pemerintah dicantumkan syarat-syarat dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh pihak yang memperoleh izin. Izin sebagai sarana yuridis dari pemerintah, pada hakikatnya ditetapkan untuk mengkonkritisasikan wewenangnya dengan beberapa tujuan (motif) tertentu yaitu :

1. Keinginan mengarahkan (mengendalikan) aktivitas-aktivitas tertentu ;

2. Keinginan melindungi obyek-obyek tertentu ;

3. Mencegah bahaya bagi lingkungan ;

4. Hendak membagi-bagi benda yang sedikit ; dan

5. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas.

Sistem perizinan terdiri atas :

1. Larangan serta persetujuan yang merupakan dasar perkecualian : berupa izin ; dan

2. Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin : yaitu syarat-syarat dan kewajiban-kewajiban yang diciptakan/ditentukan oleh pemerintah dan yang menjadi dasar bagi pemerintah member izin.

Penyelenggaraan kegiatan usaha pariwisata dilakukan berdasarkan izin. Izin usaha pariwisata adalah izin untuk membuka usaha serta menjalankan usaha yang diberikan setelan memenuhi syarat-syarat perizinan yang ditetapkan. Bentuk izin antara lain :

  1. Persetujuan prinsip (izin prinsip) ;
  2. Izin sementara usaha pariwisata ;
  3. Izin tetap usaha pariwisata ; dan
  4. Izin operasional.

Sementara Fungsi izin usaha dapat dilihat dari 2 (dua) kepentingan, yaitu :

  1. Bagi dunia usaha :

a. Sebagai dasar/bukti keabsahan menjalankan usaha ;

b. Profesionalisme usaha dan peningkatan pelayanan ;

c. Meningkatkan citra produk wisata ; dan

d. Dipenuhinya ketentuan hukum yang berlaku dalam pengusahaan sehingga terwujud kepastian usaha.

  1. Bagi pemerintah daerah :

a. Sebagai sarana untuk pengawasan dan pengendalian ;

b. Pengaturan lokasi usaha (tata ruang) agar tidak melampaui daya dukung dan perubahan fungsi peruntukannya ;

c. Menjamin terselenggaranya kegiatan yang berkesinambungan dan keselamatan operasional usaha pariwisata ; dan

d. Memperhatikan perlindungan atas kepentingn umum/konsumen.

Kemudian tata cara penerbitan izin usaha pariwisata adalah sebagai berikut :

  1. Permohonan diajukan secara tertulis oleh pimpinan perusahaan kepada Walikota/Bupati setempat. Dalam pengajuan permohonan tersebut bagi usaha pariwisata yang memerlukan bangunan fisik, sudah disertakan salinan izin mendirikan bangunan (IMB) sebagai dasar telah memenuhi persyaratan/memiliki izin lokasi dan izin Undang-Undang Gangguan (HO). Bagi usaha pariwisata yang wajib AMDAL agar melampirkan penyusunan studi AMDAL dan bagi usaha pariwisata yang tidak wajib AMDAL dipersyaratkan UKL dan UPL ;
  2. Proses penilaian berkas permohonan yang disampaikan pemohon sampai dengan diterbitkan atau ditolaknya permohonan dilakukan dengan memperhatikan kecepatan pelayanan dan kelancaran penyelenggaraan usaha ;
  3. Jangka waktu berlakunya izin usaha pariwisata sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang selama usaha pariwisata yang bersangkutan masih menjalankan kegiatan usaha ;
  4. Salinan izin usaha yang diterbitkan oleh Pemda Kabupaten/Kota disampaikan tembusannya kepada Pemda Provinsi dan Pemerintah Pusat cq Menteri Kebudayaan dan Pariwisata ; dan
  5. Terhadap usaha pariwisata yang memerlukan izin yang bersifat khusus yang dikeluarkan oleh instansi teknis, Pemda Kabupaten/Kota memberikan rekomendasi yang ditujukan kepada instansi terkait yang bersangkutan seperti : izin perjalanan umroh bagi biro perjalanan wisata yang telah memperoleh izin usaha dari Pemda.

Prinsip Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang Transparan di Sektor Pariwisata Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Pasal 2 Kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan asas:

a. manfaat;

b. kekeluargaan;

c. adil dan merata;

d. keseimbangan;

e. kemandirian;

f. kelestarian;

g. partisipatif;

h. berkelanjutan;

i. demokratis;

j. kesetaraan; dan

k. kesatuan.

Kemudian fungsi kepariwisataan diatur dalam Pasal 3, yang menyebutkan bahwa Kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan Negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sementara itu didalam Pasal 4, ditentukan bahwa Kepariwisataan bertujuan untuk:

a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi;

b. meningkatkan kesejahteraan rakyat;

c. menghapus kemiskinan;

d. mengatasi pengangguran;

e. melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;

f. memajukan kebudayaan;

g. mengangkat citra bangsa;

h. memupuk rasa cinta tanah air;

i. memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan

j. mempererat persahabatan antarbangsa.

Mengenai Prinsip penyelenggaraan kepariwisataan itu sendiri diatur dalam Pasal 5 yang menyebutkan bahwa Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip:

a. menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan lingkungan;

b. menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;

c. memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas;

d. memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup;

e. memberdayakan masyarakat setempat;

f. menjamin keterpaduan antarsektor, antardaerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antarpemangku kepentingan;

g. mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; dan

h. memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Harus diakui bahwa birokrasi merupakan salah satu stakeholder pembangunan pariwisata dan karena itu memiliki peran yang strategis untuk menentukan arah dan sasaran pembangunan pariwisata. Peran ini semakin sentral karena dalam era otonomi daerah kewenangan didalam perencanaan, implementasi, dan pengelolaan pariwisata diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah. Implikasinya tentu saja sangat luas, terutama pada kesiapan birokrasi daerah dalam mengimplementasikan kewenangan baru tersebut. Implikasi lainnya adalah bahwa keberhasilan pembangunan kepariwisataan nasional pad akhirnya sangat bergantung pada kemampuan birokrasi di daerah untuk mengelola sumber daya pariwisata.

Namun masih saja, terasa betapa kemampuan entitas birokrasi pariwisata di daerah dalam menjalankan peran strategisnya tersebut dalam perencanaan, implementasi, dan manajemen pembangunan pariwisata masih terbatas. Hal ini disebabkan tidak saja oleh tugas dan kewenangan birokrasi pariwisata yang masih tumpang tindih dengan birokrasi terkait lainnya, melainkan juga terutama oleh realitas sistem rekrutmen dan promosi di llingkungan birokrasi pariwisata yang terlalu didasarkan pada persyaratan umum dan lebih menekankan aspek administrative-formal. Artinya aspek standard kompetensi yang imperative bagi birokrasi kepariwisataan untuk dapat menjalankan peran dan fungsi sebagai pengambil keputusan dibidang terkait dan dengan demikian menjadi kunci keberhasilan pembangunan pariwisata daerah, sampai sekarang belum menjadi criteria pemilihan pegawai dan staf dilingkungan birokrasi kepariwisataan.

Aksentuasi pada standard kompetensi dalam rangka rekrutmen dan promosi aparatur birokrasi pariwisata sebenarnya mempunyai pijakan yang kuat baik secara teoritis maupun ditingkat praktis. Efektivitas birokrasi pariwisata yang antara lain dapat dilihat dari sejauh mana aparat birokrasi tersebut mampu menjalankan tugas yang dibebankan oleh lembaga, sesungguhnya dapat dicapai apabila sumber daya manusia memiliki kompetensi di bidangnya. Dalam prakteknya terlihat bahwa banyak diantara aparatur birokrasi pariwisata yang tidak mempunyai latar belakang pendidikan, keahlian atau referensi bidang pariwisata, sehingga pencapaian tujuan birokrasi sering terkendala. Sirkulasi aparatur dalam pemerintah daerah yang didasarkan pada kriteria eselonisasi jabatan dan dipandang memiliki relevansi yang rendah dengan tingkat kompetensi pada focus of interest birokrasi pariwisata, iktu menjadi penghambat bagi tercapainya optimalisasi tujuan lembaga tersebut disatu sisi dan pembangunan pariwisata daerah disisi lain.

Apabila tidak segera mendapat penanganan, maka persoalan ini di masa depan akan memuncak karena bersatunya tuntutan kualitas berskala internasional di satu sisi dengan keterbatasan kemampuan aparatur pemerintah daerah untuk memenuhi tuntutan itu di sisi lain. Artinya, keterbatasan kualitas sumber daya manusia di birokrasi pariwisata menjadi satu variable penghambat bagi kemajuan pariwisata daerah, sebab mereka tidak mampu menjalankan peran dalam pengembangan pariwisata yang adaptif dengan permintaan pasar internasional. Persoalan semakin kompleks dengan kecenderungan yang memperlihatkan semakin banyaknya sumber daya manusia di dalam pasar tenaga kerja yang memilki kompetensi dalam bidang kepariwisataan, namun kurang memiliki akses untuk ikut membangun birokrasi pariwisata daerah yang efektif.

Tantangan berikutnya adalah tuntutan perubahan peran pemerintah. Sebagaimana dipelopori oleh Bank Dunia, prinsip-prinsip good governance yang berarti penerapan mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan social yang melibatkan Negara dan masyarakat sipil serta industry dalam suatu usaha kolektif, merupakan tantangan baru entitas birokrasi pariwisata daerah. Dalam aras ini, meskipun entitas birokrasi merupakan actor penting dalam pembangunan pariwisata, perannya tidak boleh dominan. Kewenangan yang dijalankan oleh birokrasi harus dirumuskan terlebih dahulu melaui consensus bersama stakeholder lainnya. Kolektifitas yang terdiri dari berbagai actor inilah yang terlibat dalam membentuk, mengontrol, dan mematuhi kewenangan yang dirumuskan. Dengan kata lain, birokrasi diharuskan oleh peran barunya untuk tidak hanya mampu merumuskan kebikan strategis dan operasional, tetapi juga menjadi dirigen yang piawai mengkoordinasi dan mensinkronisasi semua kegiatan kepariwisataan.

Terkait dengan masuknya prinsip-prinsip good governance dalam pembangunan kepariwistaan yang merupakan landasan bagi penyelenggaran pelayanan publik, salah satunya adalah prinsip transparansi atau keterbukaan. Karakteristik transparansi atau keterbukaan ini sesuai dengan semangat zaman yang serba terbuka akibat adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup semua aspek aktivitas yang menyangkut kepentingan public mulai dari proses pengambilan keputusan penggunaan dana-dana public sampai pada tahapan evaluasi, termasuk sector pariwisata itu sendiri. Dengan demikian, penerapan prinsip-prinsip good governance dalam pengembangan kepariwisataan diharapkan mampu mencapai tujuan pembangunan dan pengembangan kepariwisataan nasional.


PENUTUP

Kesimpulan

Secara langsung maupun tidak langsung pengembangan pariwisata yang dilakukan hendaknya mampu dirasakan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata.

Mendasarkan pada analisa diatas, perlu kiranya ditekankan kembali bahwa orientasi pengembangan pariwisata harus mempertimbangkan sektor perizinan dan menekankan prinsip penyeleggaraan pelayanan publik yang transparan sehingga tercipta keadilan sosial. Selain itu dalam prosesnya perlu pendekatan pelibatan masyarakat dan swasta sehingga akan mengoptimalkan upaya peningkatan kualitas produk pariwisata. Dalam konteks otonomi daerah, setiap daerah dituntut mampu membuat strategi sesuai dengan potensi dan kemampuannya dalam pengembangan pariwisata yang juga akan berpengaruh besar terhadap pembangunan daerah. Untuk itu dituntut adanya kearifan setiap stakeholder untuk mempunyai komitmen terhadap usaha pengembangan ini .

Semua ini akan menjadi tidak efektif dan tidak optimal hasilnya apabila tidak didukung oleh konsep yang sistematis secara formal yang mengaturnya, dimana pemerintah pusat dan pemerintah daerah memeliki kewenangan terhadap hal ini. Menuju hal tersebut peningkatan kualitas sumberdaya manusia menjadi kunci utamanya. Pariwisata sebagai sektor potensial memberikan prospek yang cerah bagi penciptaan kualitas pembangunan nasional. Dengan demikian pengembangan pariwisata pantas diprioritaskan dalam proses pembangunan.

Dalam rangka mencapai tujuan dari pengembangan pariwisata maka diperlukan kerjasama yang seimbang diantara para stakeholder. Sehingga tidak terjadi benturan-benturan terkait dengan pelaksanaan pengembangan usaha pariwisata tersebut. Khusus, bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah diharapkan mampu menerapkan sistem perizinan yang mudah, cepat, dan murah. Namun tidak bertentangan dengan nilai-nilai dari masyarakat local.

Kemudian, tidak kalah pentingnya, untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat diperlukan penyelenggaraan pelayanan public yang lebih transparan lagi, sehingga tercipta suatu keadilan social bagi masyarakat.

DAFTAR BACAAN

  1. Akil, Sjarifuddin. “Implementasi Kebijakan Sektoral Dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Dari Perspektif Penataan Ruang”.
  2. Sudirman, Ujang. “Perspektif Pengembangan Pariwisata Dalam Antisipasi Pelaksanaan Otonomi”. Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi DaerahDepartemen dalam Negeri.
  3. Lupiyanto, Ribut. “Pariwisata Mensiasati Otonomi Daerah”.
  4. J. Spillane, S.J. ,James. “Pariwisata Sebagai Ilmu dan Profesi”
  5. Ardiwidjaja, Roby.Membedah Konsep Pariwisata Berkelanjutan”
  6. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
  7. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.